Monday, February 28, 2011

Pertanyaan Dalam Administrasi Publik



 
PERTANYAAN
1.    Berikan penilaian tentang kondisi prinsip konsumerisme di Indonesia (sektor pemerintahan publik), dan penjelasan dari baik buruknya prinsip tersebut! 
2.    Berikan contoh fakta fenomena penerapan dari masing-masing prinsip konsumerisme tersebut (sektor pemerintahan publik)!
JAWABAN
1.    Penilaian saya tentang kondisi prinsip konsumerisme di Indonesia khususnya di dalam sektor pemerintahan publik yang dimana terdiri dari prinsip accessibility, choice, information, redress, representation (Janne Potter) adalah bahwa dalam lima prinsip tersebut mempunyai konsekuensi prinsip bahwa hakim penilai baik atau buruknya kualitas pelayanan publik adalah masyarakat. Di bentuknya suatu pemerintahan, pada hakekatnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidaklah dibentuk untuk melayani diri sendiri tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap individu dapat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya untuk tujuan bersama. Pemerintah merupakan manifestasi dari kehendak rakyat, karena itu harus memperhatikan kepentingan rakyat dan melaksanakan fungsi rakyat melalui proses dan mekanisme pemerintahan. Pemerintah, memiliki peran untuk melaksanakan fungsi pelayanan dan pengaturan warga negara. Untuk mengimplementasikan fungsi tersebut, pemerintah melakukan aktivitas pelayanan, pengaturan, pembinaan, koordinasi dan pembangunan dalam berbagai bidang. Layanan itu sendiri disediakan pada berbagai lembaga atau institusi pemerintah dengan aparat sebagai pemberi layanan secara langsung kepada masyarakat, antara pemerintah dengan masyarakat terdapat suatu hubungan, dimana ada masyarakat di sana pula pemerintah diperlukan. Hubungan ini lebih didasarkan pada suatu interaksi antara yang menyediakan atau memberikan produk dengan yang membutuhkan atau menerima produk.
Saya kembalikan ke pokok bahasan tentang  kondisi prinsip konsumerisme di Indonesia, Meurut saya secara keseluruhan dari kelima prinsip konsumerisme di Indonesia belum terlaksana dengan baik, entah itu dari aksesibilitas yang diberika, pilihan-pilihan produk yang ditawarkan , informasi yang diberikan oleh pelayan (pemerintah publik), redress yang di berikan, hingga perwakilan dari masyarakat kepada pemerintah publik. Banyak masalah-masalah dari kelima prinsip diatas, dari mulai  akses yang kurang jelas, siapa yang membayar dan siapa yang mendapatkan keuntungan tidak sama, dari prinsip choice masyarakat diberi kebebasan untuk berhak memilih produk-produk yang diberikan baik produk dari pemerintah ataupun pihak swasta. Untuk prinsip informasi, system informasi di Indonesia masih tergolong caruk-maruk, terlihat  Kualitas pelayanan publik telah lama menjadi kajian di banyak negara. Tu pada kasus pembuatan KTP, SIM, Akta tanah, Akta Kelahiran yang kurang jelas, sehingga masyarakat menjadi bingung untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan pemerintah di sektor publik, sehingga bisa-bisa masyarakat akan menjadi korban dari kegiatan korupsi, pungli dan lain sebagainya oleh pihak yang pelayan. Dalam prinsip Redress, yang dimana masyarakat mendapatkan perlindungan-perlindungan sebagai konsumen yang dimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dimana redress yang baik akan mendatangkan banyak keuntungan-keuntungan bagi pelayan, misalnya pemeriksaan tidakan, pengontrolan kualitas, dan pengidentifikasian masalah. Dalam prinsip kelima yakni prinsip perwakilan Representation, dimana masyarakat memiliki wakil untuk menangani permasalahan-permasalahan dalam pelayanan publik, hal ini sangat membantu sekali bagi masyarakat apabila masyarakat mengalami kesusahan  sebagai perannya, yaitu konsumen. Tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas hampir setiap hari dapat dibaca di media cetak atau dilihat di media elektronik, juga digunjingkan oleh banyak orang di rumah maupun di tempat umum. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian organisasi publik masih harus meningkatkan pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat .
2.    Banyak fenomena-fenomena nyata tentang prinsip konsumerisme konsumerisme yang ada di Indonesia khususnya pada pemerintahan sektor publik, berikut ini adalah contoh fenomena dari 5 prinsip konsumerisme di Indonesia.
a.    Prisip Aksesibilitas (Principles of Accesibility)
Didalam prinsip acces ini dapat dilihat dari 2 sisi:
i)     Definisi kriteria rasionalitas suatu pelayanan
Didalam subprinsip ini ditekankan pada rasionalitas suatu pelayanan yang dimana suatu palayanan harus benar-benar sesuai dengan apa yang telah ditentukan dan diterapkan, suatu hal yang rasional yang di dalam prosesnya dapat dimengerti. Antara peraturan dan pelaksanaan harus sama. Namun, dalam hal ini banyak fenomena yang dimana tidak sesuai dengan konsep prinsip ini. Disini saya akan mengambil contoh nyata didalam suatu kehidupan (instan dan mudah), yakni dalam fenomena “SIM jalur cepat dan SIM jalur biasa”. Melihat  kata-kata dari fenomena yang saya angkat, sungguh aneh sekali bila difahami. Dalam proses pembuatan SIM secara resmi, diberlakukan ujian/tes tertulis dan praktek yang dianggap oleh sebagian warga, terutama sopir akan mempersulit pembuatan SIM, Untuk mempercepat proses itu mereka membayar lebih besar, asalkan tidak harus mengikuti ujian. Biaya tidak resmi pengurusan SIM biasanya langsung ditetapkan oleh petugas. Biasanya yang terlibat dalam praktek ini adalah warga yang mengurus SIM dan oknum petugas yang menangani kepengurusan SIM. Disini bisa dilihat betapa petugas-petugas yang menangani kepengurusan SIM menyalahgunakan kekuasaannya, yang dimana harus bekerja sesuai dengan prosedur-prosedur yang sudah di sepakati bersama.
Lepas dari pembuatan SIM jalur cepat dan jalur biasa, kasus lain pada pelayanan pembuatan SKCK. Tengoklah sistem pelayanan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) POLRES dikota mana saja. Sangat jelas terpampang sebuah spanduk besar bertuliskan: “PELAYANAN SKCK DAN SIDIK JARI TIDAK DIPUNGUT BIAYA APA PUN”. Nyatanya, ketika mengurus perpanjangan SKCK, petugas tidak langsung menyerahkan suratnya, tetapi memberi isyarat: “Seikhlasnya aja dek, mau berapa juga terserah”. Meskipun tidak adanya penetapan nominal uang yang disebutkan, tersirat dengan jelas bahwa hal ini merupakan perwujudan memalukan dalam tubuh kepolisian. Spanduk yang terpajang di depannya tampak tidak berpengaruh apa-apa, dan tentu saja, ini adalah tindakan korupsi yang seringkali tidak tersentil oleh mereka yang tidak jeli menanggapi. Korupsi selalu bersahabat baik dengan dua rekannya, kolusi dan nepotisme. Korupsi dapat diartikan sebagai penyelewengan uang dengan menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, kolusi diartikan sebagai kerjasama dua orang/ organisasi untuk kepentingan bersama, dan nepotisme adalah lebih memilih saudara/kerabat untuk kepentingan mereka sendiri, bukan atas dasar kemampuan. Contoh lain selain kasus SKCK yang disebutkan tadi, pelayanan pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) di kepolisian sangat kental dengan unsur nepotisme. Kita sering mendengar istilah kata SIM tembak. Tahun 2005, ketika itu sistem pembuatan SIM tidak serumit sekarang ini. Dengan sangat leluasa, para pemohon SIM dapat dengan mudah mendapatkan SIM tanpa harus bersusah payah mengikuti serangkaian tes tulis dan praktek yang sarat formalitas hanya dengan ditemani tentara berseragam hijau ataupun rekan sesama polisi, entah itu ayah, paman, ataupun tetangganya dan dengan menambah dua kali lipat harga pelayanan pembuatan SIM kepada petugas. Jika tidak dengan cara tersebut, prosesnya sedikit dipersulit. Yang perlu kita fikirkan didalam kasus ini adalah, dimana letak sebuah kejelasan aksesibilitas, yang dimana dalam kenyataan pelayanan siapa yang membayar dan siapa yang mendapatkan keuntungan, keduanya berbeda.
ii)   Aksesibiltas pelayanan publik dalam era globalisasi
Apabila di lihat dari sisi pelayanan, diberlakukannya Undang Undang No. 22 Tentang Pemerintahan Daerah sejak 1 Januari 2001, yang telah memberikan perluasan kewenangan pada tingkat pemerintah daerah, dipandang sebagai salah satu upaya untuk memotong hambatan birokratis yang acapkali mengakibatkan pemberian pelayanan memakan waktu yang lama dan berbiaya tinggi. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah mau tidak mau harus mampu melaksanakan berbagai kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat, seiring dengan pelayanan yang harus disediakan. Konseksuensinya, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mampu memberikan pelayanan yang lebih berkualitas, dalam arti lebih berorientasi kepada aspirasi masyarakat, lebih efisien, efektif dan bertanggung jawab (accountable). Dengan kata lain pelaksanaan otonomi daerah adalah juga upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Dalam konteks era desentralisasi ini, pelayanan publik seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik. Paradigma pelayanan publik berkembang dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government) dengan ciri-ciri: (a) lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat, (b) lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama, (c) menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas, (d) terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan, (e) lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat, (f) pada hal tertentu pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan, (g) lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan, (h) lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan (i) menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan. Namun dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain: (1) memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, (2) memiliki wide stakeholders, (3) memiliki tujuan sosial, (4) dituntut untuk akuntabel kepada publik, (5) memiliki complex and debated performance indicators, serta (6) seringkali menjadi sasaran isu politik. Yang diharapkan didalam prinsip acces ini adalah kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, saluran komunikasi mudah dihubungi, dan lain-lain
b.   Prinsip Pilihan (Principles of Choice)
Pada prinsip kedua ini ketika individu mempunyai kekuatan memilih (dari sejumlah pilihan), pelayanan menjadi lebih sensitive/sesuai dengan keinginan dan kebutuhan publik. Dalam prinsip ini saya mengambil contoh yang ada dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam pelayanan transportasi, Pernahkah Anda bepergian dengan bus antar kota? Atau Anda memperhatikan tulisan-tulisan pada bus antar kota? Jika Anda perhatikan pada kaca depan atau sisi kiri bus sering terdapat tulisan ekonomi, bisnis ac, bisnis rs, eksekutif, atau super eksekutif. Ternyata tulisan-tulisan tersebut ada maksudnya. Tulisan-tulisan tersebut merupakan penanda pelayanan yang diberikan oleh sebuah bus antar kota. Direktur Jenderal Perhubungan Darat membagi pelayanan bus pada dua pelayanan yaitu ekonomi dan non ekonomi. Pelayanan ekonomi merupakan pelayanan minimal tanpa fasilitas tambahan dengan tetap memperhatikan keselamatan dan kualitas pelayanan. Adapun pelayanan non ekonomi adalah pelayanan yang dilengkapi fasilitas tambahan antara lain pengatur suhu udara(AC), pengatur tempat duduk(reclining seat) dan peturasan(toilet). Pelayanan non ekonomi sendiri masih dibagi dalam empat kelas yaitu: 1. bisnis AC, 2. bisnis RS, 3. eksekutif, dan 4. super eksekutif.
Dalam fenomena yang saya paparkan diatas, merupakan satu dari banyak contoh tentang prinsip choice (pilihan).
Fenomena lain misalnya, Dalam kehidupan kita ini selalu bersentuhan dengan beragam jenis barang dan jasa sebagai sebuah upaya guna pemenuhan kebutuhan. Setiap orang selalu memerlukan beragam barang dan jasa baik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta. Produk barang atau jasa yang disediakan pemerintah (public goods) diantaranya adalah pelayanan atas keamanan, pelayanan identitas diri seperti KTP, SIM maupun akta tanah, pelayanan listrik (oleh BUMN-PLN), pelayanan pendidikan maupun kesehatan. Meskipun untuk yang dua hal terakhir (pelayanan pendidikan dan kesehatan), pihak swasta juga menyediakannya. Masyarakat berhak memilihnya, sebab penyediaan layanan pendidikan maupun kesehatan tergolong pada substitute public goods (penyediaan pelayanan atas barang dan/atau jasa yang dilakukan lembaga pemerintah dan juga lembaga swasta). Dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen dinyatakan bahwa pendidikan dasar 9 tahun adalah tanggung jawab negara. Sebagai amanat undang-undang, maka masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan sejak SD sampai SMP adalah menjadi tanggungan negara, namun negara juga tidak serta merta menutup sekolah-sekolah swasta, sebab masyarakat dipersilahkan memilih. Akan halnya, masalah pelayanan kesehatan, ketika sakit masyarakat dipersilakan memilih apakah akan berobat ke rumah sakit pemerintah atau swasta.
Yang menjadi perbedaan mendasar antara pelayanan yang disediakan oleh negara (institusi pelayanan publik) dan swasta adalah dari sudut peran. Bahwa negara wajib mengelola sumber daya yang dimiliki dan mengalokasikan (dalam bentuk pelayanan publik dan subsidi) kepada rakyat demi kesejahteraannya. Oleh karena itulah, institusi pelayanan publik bertanggungjawab kepada otoritas politik dan hukum. Disamping itu pelayanan oleh pemerintah tidak bersifat mencari laba (non-profit oriented). Hal ini dikarenakan sumber pendanaan institusi publik berasal dari dana publik, yang berasal dari retribusi dan pajak. Sementara pihak swasta dalam mengelola sumber daya ekonomi adalah demi meraih keuntungan (profit oriented) bagi para pemegang saham atau pemilik lembaga. Sebab sumber pendanaannya dari pemegang saham, sehingga kepada merekalah pertanggungjawaban diberikan. Disisi lain, indikator keberhasilan lembaga swasta dapat diukur dari jumlah penjualan barang/jasa dan keuntungan yang dihasilkan. Namun tidak demikian dengan institusi publik. Salah satu fungsi negara adalah sebagai penyedia pelayanan publik dengan penyediaan public goods secara non profit oriented, artinya penyediaan layanan tidak boleh memperhitungkan seberapa besar profit atau keuntungan yang diperoleh. Sehingga, pelayanan publik akan bersifat ekonomis artinya biaya yang dibebankan harus terjangkau oleh masyarakat. Jadi, apabila indikator keberhasilannya seperti indikator keberhasilan institusi swasta jelas akan menyalahi fungsi negara sebagai penyedia public goods. Bertolak dari hal itulah, diterbitkan dan diberlakukan peraturan perundangan mengenai Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi pemerintah, terutama pemerintah daerah, sebab dengan otonomi daerah (desentralisasi pemerintahan) memiliki konsekuensi logis bahwa pemerintah daerah menerima pelimpahan fungsi pelayanan dari pusat.
c.    Prinsip Informasi (Principles of Information)
Pada prinsip informasi ini Konsumen sangat membutuhkan informasi untuk membuat pulihan terbaik tentang layanan yang diinginkan, untuk mendapatkan manfaat yang terbesar. Konsumen juga membutuhkan informasi umum temntang layanan dari mulai tujuan, standar, perlindungan, dll. Didalam pirinsip ini sering di temui permasalahan yang dimana secara langsung mengakibatkan tidak ada suatu kenyamanan untuk sang konsumen. Permasalahan yang sering kita temui dalam prinsip ini adalah terjadinya ketidakseimbangan informasi antara pelayanan dengan yang dilayani. Secara singkat bisa dikatakan bahwa informasi yang diberikan oleh pelayan masih setengah-setengah, dan masyarakat tidak bisa memahami informasi teresebut, sehingga masyarakat yang dimana sebagai konsumen akan salah klaprah dalam memahami dan menggunakan layanan yang diberikan. Sebagai contohnya adalah Kasus terror kompor gas elpiji 3 kilo. Apakah ada hubungannya dengan prinsip informasi. Jelas ada, masalahnya dalam hal ini adalah pemerintah kurang memberikan sosialisasi dan informasi yang jelas kepada masyarakat, khususnya masyarakat awam yang tidak tahu menahu akan kompor gas. Kurangnya sosialisasi ini, mengakibatkan banyak masyarakat yang menjadi korban ganasnya tabung 3 kilo ini, seolah-olah kompor gas 3 killo ini menjadi momok menakutkan yang meneror mereka. Sistem informasi sangat penting dalam kasus ini, dengan informasi yang jelas semua program-program pelayanan pemerintah akan gampang diimplementasikan, dan berjalan tanpa ada masalah yang besar. Dengan sosialisasi setdaknya dapat menjawab keresahan masyarakat yang selama ini menganggap tabung gas elpiji sebagai teror ledakan yang sewaktu-waktu bisa terjadi, dan juga sosialisasi dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya para pengguna kompor gas hasil konversi minyak tanah ke gas elpiji. Yang terpenting sosialisasi yang paling dibutuhkan adalah sosialisasi kepada warga yang ada dipelosok desa, karena rata-rata yang sering menjadi korban ledakan tabung elpiji ini adalah warga yang jauh dari perkotaan yang pengetahuannya dalam menggunakan kompor elpiji masih tergolong minim.
Yang diharapkan dalam prinsip ini adalah bahwa pelayan memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan.
d.   Prinsip Ganti Rugi-Perbaikan (Principles of Redress)
Redress diartikan sebagai bentuk prosedur kompalin untuk menerapkan prinsip kewenangan . Contoh dalam kehidupan di masyarakat adalah Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Pemadaman listrik yang dilakukan PT PLN kepada pelanggan/konsumen listrik yang seringkali tanpa pemberitahuan terlebih dahulu membawa dampak negatif terhadap pelanggan/konsumennya. Masalah kerusakan alat-alat elektronik peralatan rumah tangga para konsumen listrik adalah yang seringkali dikeluhkan terutama konsumen listrik. Adanya ganti kerugian yang dijanjikan oleh undang-undang ketenagalistrikan ternyata masih jauh dari yang diharapkan konsumen listrik.Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat ”konsumen”. Dengan memahami pengertian konsumen, maka perbedaan antara hukum konsumen dan perlindungan konsumen, antara hak-hak pokok dari konsumen dan keterkaitan hukum perlindungan konsumen dengan bidang-bidang hukum yang lain dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang hukum perlindungan konsumen. Konsumen listrik sering dikecewakan oleh pelayanan yang diberikan oleh PT. PLN. Padahal di Indonesia telah memiliki berbeberapa peraturan perundang-undangan yang melindungi konsumen. Perundang-undangan yang melindungi konsumen antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002 juga tentang Ketenagalistrikan, serta berbagai peraturan pemerintah yang mendukungnya.Dari fenomena tersebut bisa dikatakan bahwa hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh PLN serta pelayanan yang lebih baik diberikan oleh PLN sehingga tidak mengecewakan konsumen/pelanggan yang memakai jasanya dalam kehidupan sehari-hari. Yang lebih penting perlindungan hukum yang diterima konsumen apabila terjadi tidak dipenuhinya hak-hak konsumen oleh PLN. Saran yang dapat diberikan adalah PLN harus dapat memenuhi hak-hak konsumen serta konsumen lebih meningkatkan kualitasnya agar konsumen tidak merasa dirugikan oleh kurangnya pelayanan yang diberikan oleh PLN.
e.    Prinsip Perwakilan-Masyarakat (Principles of Representation)
Representasi lebih diartikan sebagai keterwakilan kepentingan konsumen dalam pengambilan keputusan. Dalam prinsip perlu didukung dengan langkah-langkah sosialisasi dan advocasi pada  masyarakat. Dalam hal ini saya mengambil kata advocacy-advokasi atau perwakilan dari masyarakat. Dalam kasus ini, sebagai contoh dari prinsip ini adalah dibentuknya TAKOL (Tim Advokasi Konsumen LIstrik). Dari info yang saya dapatkan bahwa sekitar bulan juni pihak Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) membentuk tim advokasi untuk mengkaji kenaikan tarif dasar listrik yang diberlakukan pemerintah. Pembentukan tim advokasi ini merupakan wujud nyata dari KADIN yang mewakili jerit hati masyarakat sebagai konsumen energi listrik. Akibat krisis pasokan listrik yang dialami hampir di seluruh pelosok tanah air, PT PLN tidak mampu menyediakan tenaga listrik secara terus menerus kepada pelanggannya. Hal ini terbukti dengan seringnya pemadaman listrik bergilir yang dilakukan PT. PLN kepada pelanggan/konsumen listrik. Bentuk perwakilan masyarakat ini merupakan langkah positif demi menghindari kerugian-kerugian yang di sebabkan oleh kenaikan TDL, dan akibat-akibat yang ditimbulkan dari pemadaman listrik, misalnya masalah kerusakan alat-alat elektronik peralatan rumah tangga para konsumen listrik, dan kenaikan beban opersional listrik dari masalah kenaikan TDL itu sendiri.

No comments:

Post a Comment