Saturday, February 26, 2011

CONTOH TIGA POLA BIROKRASI


CONTOH 3 POLA BIROKRATISASI
(WEBERISASI, PARKINSONISAI, DAN ORWELLISASI)
Max Weber, sosiolog Jerman yang merumuskan konsep birokrasi untuk pertama kali, mempunyai pemikiran yang amat ber-beda dari para sarjana yang dibicarakan di atas tentang hubungan antara birokrasi dan pembangunan ekonomi. Menurut Weber, birokratisasi adalah prasyarat bagi pembangunan ekonomi dan upaya penciptaan industri modern. Tanpa birokrasi tidak mungkin dicapai ekonomi modern yang berkelanjutan, industrialisasi yang cepat dan "take-off into selfsustained growth"
Teori birokratisasi Weber tadi menimbulkan satu pertanyaan yang selalu mengusik di benak para sarjana adminis-trasi pembangunan: "Apakah birokratisasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sudah sampai ke tingkat yang cukup tinggi sebagai prasarana pembangunan ekonomi?" Atau, sebaliknya, sudahkah birokratisasi yang terlalu berlebihan (overbureaucratization) justru telah menjadi beban yang menghambat kemajuan ekonomi negara ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dibahas proses birokratisasi secara lebih mendalam agar kita dapat memban-dingkan tingkat birokratisasi di Indonesia dengan di bebera-pa negara di kawasan ini. Evers (1987) dalam analisisnya tentang birokratisasi Asia Tenggara membedakan tiga pola birokratisasi berikut:
1.      Pola pertama adalah birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintahan dan aparat administrasi negara. Proses ini menjadi fokus dan dibahas secara luas dalam teori Weber dan oleh Evers dinamakan birokratisasi ala Weber atau Weberisasi atau (Bw).
Atau bisa disebut Weberisasi adalah suatau proses perkembangan birokrasi kepada ciri-ciri idealnya yang bersifat rasional (struktur, prosedur, aturan jelas) yang secara keseluruhan bisa mencapai efisiensi sesuai nilai-nilai yang dikejar dan tujuan yang hendak dicapai. Pengertian ini menjelaskan bahwa perkembangan birokrasi tidak pernah sempurna.Artinya sewaktu-waktu perlu dievaluasi apakah kehadiran birokrasi tersebut masih rasional atau tidak.
2.      Pola kedua adalah proses birokratisasi dalam bentuk peningkatan jumlah pegawai negeri dan pembesaran organisasi pemerintah. Dalam literatur ilmu sosial sering disebut nama Parkinson, tokoh ilmu sosial dari Universitas Singapura menjadi terkenal karena "Parkinson's Law" yang telah diciptakannya. Hukum Parkinson ini menyatakan: (1) tiap pegawai negeri akan berusaha sekuat tenaga meningkatkan jumlah pegawai bawahannya, dan (2) tiap pegawai akan selalu menciptakan tugas baru bagi dirinya sendiri yang sering diragukan manfaat dan artinya. Karena itu laju birokratisasi akan meningkat dan jumlah pegawai negeri akan naik secara otomatis tidak tergantung dari beban tugas yang diperlukan. Pola semacam ini disebut Evers birokratisasi Parkinson (Parkinsonisasi).
3.      Pola ketiga adalah birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial masyarakat dengan peraturan, regulasi, dan bila perlu pemaksaan. Proses ini di-sebut Evers birokratisasi Orwell atau Orwellisasi sesuai dengan gambaran masyarakat yang digambarkan oleh penulis George Orwell dalam novelnya yang berjudul "1984". Orwelisasi menjelaskan bahwa birokrasi mempunyai kewenangan tertentu dalam masyarakat. Pada tingkat tertentu perkembangan birokrasi bisa membuat masyarakat sangat tergantung pada birokrasi , sehingga masyarakat tidak otonom, dan powerless, karena keberdayaan diserap seluruhnya oleh birokrasi. Masyarakat harus tunduk dalam banyak hal kepada birokrasi.Sehingga akhirnya masyarakat melayani birokrasi.
Contoh Dari Pola Weberisasi, Parkinsonisasi, Orwelisasi
1.      Pola Weberisasi
ü  Pergeseran antara spoil system ke arah merit system
Sudah saatnya berbagai institusi publik melakukan pembenahan dalam sistem pembinaan karier karyawannya. Salah satu metode pembinaan karier yang saya ingin kemukakan adalah merit system. Pada intinya metode ini adalah menghargai prestasi yang telah dibuat oleh karyawan dalam suatu organisasi. Dengan prestasi yang dibuat, maka kariernya bisa menanjak dan berkembang, dan sebaliknya apabila ada karyawan yang tidak bisa berprestasi maka ada beberapa tahap penanganannya.    
Konsekuensi dari penerapan merit system dalam suatu organisasi adalah harus ada standart kompetence atau tolak ukur kinerja dalam organisasi tersebut. tolak ukur kinerja itu harus dipenuhi oleh seorang karyawan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.  
Aplikasinya, seorang karyawan harus tahu secara terperinci mengenai pekerjaannya. Tahu akan job descriptions nya, job specifications nya, target dari pekerjaannya dan bagaimana hasil penilaian akan kinerjanya. Dari rangkaian tersebut maka seorang karyawan akan tahu bagaimana kualitas kerjanya dan bagaimana penilaian pimpinan atas produktivitas kinerjanya.
Implementasi merit system dapat mewujudkan transparansi dalam pembinaan karier. selain itu akan terdapat kompetisi yang sehat diantara karyawan dalam organisasi tersebut, sehingga tidak akan ada lagi kesan like or dislike dalam mempromosikan seorang karyawan untuk menduduki suatu jabatan.
Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme. Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan).

Dimensi
Model Lama Birokrasi
Model Baru Birokrasi
Kultur dan struktur kerja
Irasional - hirarkis
Rasional - egaliter
Hubungan kerja
Komando - intervensionis
Partisipan - outonomus
Tujuan Kerja
Penguasaan, Pengendalian Publik
Pemberdayaan Publik, Demokratisasi
Sikap terhadap publik
Rent-seeking (ekonomi biaya tinggi).
Profesional pelayanan publik, transparansi biaya (public accountibility).
Pola Rekruitmen, pengawasan & Penghargaan
Spoil System
(Nepotisme, diskriminasi, reward berdasarkan ikatan primordial –suku, ras, agama)
Merit System
(pengangkatan karena keahlian, pengawasan kolektif, obyektif)
Model Pelayanan
Tidak Ada Kompetisi dalam Pelayanan
Kompetitif dalam Memberikan Pelayanan
Keterkaitan dengan Politik
Birokrasi Berpolitik
Netralitas Politik Birokrasi
Model Reformasi Birorkasi Untuk Indonesia
Contoh kasus Pergeseran antara spoil system ke arah merit system adalah Analisis Pengaruh Merit System Terhadap peningkatan Kinerja Guru SMU Dharma Pancasila Di Medan


 












Analisis Pengaruh Merit System Terhadap peningkatan Kinerja Guru SMU Dharma Pancasila Di Medan
Category/Subject: Master Theses / Economics / Management
Description (Indonesia): Merit system adalah pengelolaan sumber daya manusia yang didasarkan pada prestasi (merit) yaitu segenap perilaku kerja pegawai dalam wujudnya sebagai prestasi yang baik atau prestasi buruk dan berpengaruh langsung pada naik atau turunnya penghasilan dan/atau karir jabatan pegawai. Penilaian karya pegawai merupakan proses sistematik untuk menilai segenap perilaku kerja pegawai dalam kurun waktu kerja tertentu yang akan menjadi dasar penetapan kebijakan personalia dan pengembangan pegawai. Penelitian ini dilaksanakan pada SMU Dharma Pancasila Medan , merupakan salah satu yayasan swasta yang bergerak dalam bidang pendidikan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh merit system (imbalan, pengembangan karir dan penilaian karya guru) terhadap peningkatan kinerja guru pada Sekolah Menengah Umum (SMU) Dharma Pancasila Medan, dan faktor mana yang paling dominan mempengaruhi kinerja guru pada Sekolah Menengah Umum (SMU) Dharma Pancasila Medan ditinjau berdasarkan merit system. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh merit system (penilaian karya guru, imbalan dan pengembangan karir) terhadap peningkatan kinerja guru pada Sekolah Menengah Umum (SMU) Dharma Pancasila Medan, faktor dominan mempengaruhi kinerja guru pada Sekolah Menengah Umum (SMU) Dharma Pancasila Medan ditinjau berdasarkan merit system. Tehnik pengumpulan data primer dengan kuesioner. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel bebas, baik satu variabel ataupun lebih. Metode penelitian ini merupakan penelitian survei. Berdasarkan sifat penelitian, penelitian ini bersifat deskriptif explanatory yaitu menguraikan dan menjelaskan pengaruh merit sistem terhadap peningkatan kinerja guru. Variabel penilaian karya guru (X1) adalah sebesar 0,392, nilai t-hitung adalah sebesar 8,675. Variabel penilaian karya guru memiliki hubungan yang positif terhadap kinerja guru. Imbalan mempunyai hubungan positif terhadap kinerja guru. Setiap peningkatan imbalan sebesar 1%, akan meningkatkan kinerja guru sebesar 0.95%. Variabel pengembangan karir tidak mempunyai hubungan yang positif terhadap kinerja guru apabila analisis regresi dilaksanakan secara serentak. Variabel imbalan memiliki pengaruh yang lebih dominan (94%) dibandingkan dengan penilaian karya guru (39,2%) dan pengembangan karir (3%).
Rights: USU e-Repository © 2008

Merit system dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengatasi “Low Performance” disebabkan merit system dapat memotivasi pegawai untuk meningkatkan kinerja, karena adanya penilaian untuk mengukur kinerja pegawai. Jika penilaian yang dilakukan tidak baik maka penerapan merit system tidak akan efektif. Menurut Wilkerson ( 1995 ) Kelemahan system penilaian sebagai berikut :
·         Pekerja staf, manejer dikaitkan banyak system, proses dan orang. Tetapi focus penilaian kinerja hanya kepada individu, hal ini menghasilkan penilaian yang bersifat individual bukan suatu system dalam suatu organisasi;
·         Penilaian kinerja menganggap system dalam organisasi tersebut konsisten, dan dapat diprediksi. Padahal dalam kenyataan system dan proses merupakan subyek yang dapat berubah karena secara sadar manajemen harus melakukan perubahan sesuai dengan kemampuannya serta tuntutan organisasi ;
·         Penilaian kinerja menuntut persyaratan proses penilaian yang obyektif, konsisten dapat dipercaya serta adil, tetapi disisi lain penilaian kinerja akan dapat dilihat karyawan sebagai hal yang mendadak dan didasarkan fovoritisme.
Agar penilaian kinerja dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan cara sebagai berikut:
Ø  Yang diukur adalah benar-benar prestasi
Ø  Menggunakan tolak ukur yang jelas agar obyektif
Ø  Dimengerti, dipahami dan dilaksanakan sepenuhnya oleh semua anggota      organisasi  yang terlibat dalam penilaian.
Ø  Dilaksanakan secara konsisten.
Untuk menerapkan merit system diperlukan job analysis, untuk pengembangan merit system harus mengacu kepada tujuan organisasi. Tujuan merit system untuk memotivasi karyawan dalam melaksanakan pekerjaan.   
Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dalam penerapan merit system adalah :
·         Nilai insentif imbalan yang ditawarkan terlampau rendah;
  • Kaitan antara kinerja dan imbalan sangat renda;
  • Supervisor seringkali menolak penilaian kinerja;
·         Kontrak serikat pekerja mempengaruhi keputusan gaji
Keuntungan Merit system :
·         Adanya system penilaian kinerja;
·         Adanya usaha/ motivasi untuk peningkatan ketrampilan dan kinerja oleh pegawai.
Kerugiannya :
·         Karir seseorang akan mentok, karena sulitnya untuk naik tingkat kalau tidak disertai oleh kemampuan pegawai;
·         Sulitnya memberikan penilaian yang obyektif;
·         Kurangnya perhatian untuk membangun suatu proses yang terpecaya dan untuk menyakini pegawai.
ü Penciutan Organisasi
Kenapa perusahaan mengalami penciutan Organisasi?
Karena yang dibutuhkan adalah organisasi berjalan secara efektif, agar tujuan tercapai.
organisasi yg besar/tambun menyulitkan koordinasi, pengawasan, pembagian kerja, dan menghamburkan sumberdaya.
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100725053608AA7zrn9
Pernyataan Gubernur Resahkan PNS
Jumat, 2 Des 2005 06:14:26

      WATES -‑ Menanggapi pernyataan Guernur DIY bahwa perlunya reformasi di Pemkab Kulonprogo serta usulan DPRD setempat soal penciutan kelembagaan, justru menimbulkan keresahan sebagian PNS di Sekretariat dan Dinas Pariwisata, karena khawatir akan tergusur jabatannya.
     Kepala Bagian Organisasi Pemkab Kulonprogo, Iskandar Sumarsana Kamis kemarin (1/12) membenarkan adanya usulan dari DPRD Kulonprogo agar Pemkab Kulonprogo menciutkan struktur organisasinya.    
     "Gubernur DIY beberapa waktu lalu kan memberikan masukan agar Pemkab Kulonprogo melakukan reformasi, agar laju perkembangan daerah ini makin cepat. Hal itu ditanggapi DPRD dengan meminta penciutan organisasi," katanya.    
     Penciutan yang diusulkan DPRD melalui Pansusnya tersebut antara lain berupa berkurang jabatan Assek dari dua menjadi tiga. Sekretariat Pemkab dikurang dari delapan menjadi enam, dengan menghilangkan Bagian Pemerintahan Desa dan Bagian Perlengkapan. Pada dinas, Dinas Pariwisata dijadikan satu dengan Dinas Perdagangan Perindustrian.
     Iskandar mengaku kesulitan untuk melaksanakannya, karena beberapa alasan. Diantaranya karena dalam waktu dekat ini akan muncul lagi Peraturan pemerintah yang menghendaki adanya perubahan Organisasi di Pemkab.             
     Dari kalangan PNS menyatakan bongkar pasang kelembagaan justru meresahkan orang bekerja. "Bagaimana mungkin bekerja berdasar organisasi baru dan belum mapan betul, harus berubah lagi," ujar PNS Dinas Pariwisata yang tak mau disebut namanya.
     Sementara PNS yang lain berpendapat, reformasi seharusnya diawali dari sikap mental kinerja pejabatnya. Meskipun organisasinya dirubah dengan menggunakan ahli dari manapun, kalau sikap mental aparat payah, ya tetap saja payah, katanya. (wid)
http://www.bernas.co.id/news/CyberMetro/DIY/2551.htm
Dalam menghadapi kondisi krisis, ketidakpastian, dan dinamika perubahan yang cepat, organisasi perlu berhati-hati dalam mengambil tindakan reengineering secara parsial. Keputusan melakuan pemangkasan organisasi yang diikuti dengan pemutusan hubungan kerja tanpa mempertimbangkan dampak lebih lanjut terhadap faktor-faktor lain yang berkaitan, belum tentu bisa mengakhiri segala permasalahan organisasi.
Memang dengan pemangkasan dan penciutan organisasi menjadi lebih ramping (lean). Namun perubahan ini menimbulkan kesan yang buruk dan sungguh kejam di mata karyawan. Pemangkasan dan penciutan yang tadinya ditujukan untuk efisiensi justru berakibat meningkatnya ketidakpuasan karyawan karena tanggung jawab dan beban karyawan semakin berat dan otomatis menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, memang mengurangi biaya operasional dan meningkatkan produktivitas, akibatnya timbul kekecewaan dan ketidakpuasan bahkan terjadi frustasi karyawan. Hal ini terjadi karena tindakan perubahan yang dilakukan cenderung mengabaikan dimensi pengembangan manajemen SDM.
Jika dipandang dari sudut MSDM penyebab kegagalan reengineering yang utama adalah resistance to change dan kurangnya komitmen manajemen. Disamping itu faktor kepemimpinan juga sangat menentukan berhasil tidaknya organisasi dalam melakukan reengineering. Menurut Hilb (1996) untuk bisa meraih sukses reengineering, organisasi harus melalui tahap-tahap, yaitu mendiagnosis keadaan saat ini, mendesain ulang keadaan masa depan, mengidentifikasi berbagai hambatan, dan me-roll-out tindakan. Dengan demikian reengineering akan berhasil menciptakan yang lean, happy, dan nimble. Akhirnya, sasaran pengembangan MSDM dalam reengineering perlu secara terus-menerus diarahkan untuk mendukung setiap perubahan yang mungkin bisa terjadi.
ü  http://www.tempointeraktif.com/images/logo/logotype.jpgPemekaran Organisasi (Bila Memang Diperlukan)



Polri Lakukan Pemekaran Organisasi Mulai 1 Juli
Jum'at, 01 Juni 2001 | 17:22 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Polri akan melakukan pemekaran organisasi mulai 1 Juli 2001, di antaranya dengan menghapus jabatan Wakil Kepala Polisi RI (Wakapolri) menjadi Sekretaris Jenderal Kepolisisan Republik Indonesia (Sekjen Polri). Pemekaran tersebut dimaksudkan untuk menjadikan Polri sebagai Lembaga Tinggi Negara Non-Departemen. “Pemekaran juga untuk meningkatkan kinerja profesionalisme dan kemandirian Polri,” tegas Kapuspen Polri Irjen (Pol.) Didi Widayadi di Mabes Polri Jakarta, Jumat (1/6) petang.
Didi menambahkan, selain penghapusan jabatan Wakapolri, Polri juga akan melakukan validitas organisasi Polri. Hal ini, lanjut dia, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 54/2001 yang dikeluarkan tanggal 25 April 2001 lalu tentang Organisasi Polri.
Dikeluarkannya Keppres ini, kata Didi, didasarkan pada UUD 1945 pasal 30 ayat 1-5, Tap MPR nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI-Polri, Tap MPR nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, UU nomor 28/1997, Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri, serta Keppres nomor 89/2000 tentang Kedudukan Polri.
Mengenai orang-orang yang akan menduduki jabatan baru dalam pemekaran organisasi tersebut, Didi menegaskan, sebelum 1 Juli 2001 semua jabatan telah terisi. “Kami tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengumumkan nama-nama tersebut,” tegas dia.
Dalam organisasi baru Polri nanti, di bawah Kapolri akan ada jabatan Koordinator Staf Ahli (Korsahli) yang berpangkat bintang dua. Korsahli akan membawahi bidang manajemen, sosial politik, kriminal dan HAM.
Kapolri juga akan dibantu oleh Sekjen, dengan pangkat bintang tiga, dan Wakasekjen, yang berbintang dua. Jabatan Sekjen dan Wakasekjen nantinya akan membawahi empat kepala biro, yaitu Biro Umum, Biro Bimbingan Strategis, Biro Program Anggaran, dan Biro Informatika. Semua kepala biro tersebut akan dijabat oleh orang-orang yang berpangkat bintang satu.
Selanjutnya, akan ada jabatan baru di bawah Kapolri, yaitu Inspektorat Jenderal (Irjen), yang akan dijabat oleh perwira berbintang tiga, yang akan dibantu oleh seorang Wairjen yang berbintang dua. Irjen dan Wairjen nantinya akan membawahi Inspektur Jenderal Operasional (Irop), Inspektur Pembinaan (Irbim) dan Inspektur Khusus (Irsus). Semuanya berbintang satu.
Selain itu, di bawah Kapolri, tambah Didi, juga ada Deputi yang berbintang Tiga. Yaitu Deputi Operasi, Deputi Sumber Daya manusia (Desumdaman), Deputi Logistig (Delog), Deputi Pendidikan dan Latihan (Dediklat). Deputi Operasi akan membawahi Dankorpbrimob (Komandan Koordinator Brimob), Dirsabhara (Direktur Sabhara), Dirlantas (Direktur Lalulintas), Dirbimas (Direktur Bimbingan Masyarakat), Dirpolairud (Direktur Polisi air udara), dan Kapusdalog (Kepala Pusat Pengendalian Operasional).
Selain itu, tambah dia, kelak di Markas Besar Polri akan ada peningkatan jumlah staf administrasi dari sipil. Hal tersebut dilakukan guna menigkatkan pelayanan polisi kepada masyarakat.
Sedangkan secara struktural, anggota Polri berpangkat di bawah Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) akan diterjunkan ke daerah-daerah. Di Markas Besar Polri sendiri, diharapkan akan ditempati oleh pejabat Polri mulai dari pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi. “Kita ingin mendistribusikan anggota Polri ke seluruh daerah, agar tidak terjadi penumpukan perwira di pusat, dan hal ini terkait dengan perkembangan otonomi daerah,” jelas Didi. (Cahyo Junaedy)
Pemekaran demi Keutuhan NKRI?
Pemekaran provinsi di tanah Papua, pertama, jelas-jelas melanggar Pasal 76 UU 21/2001 tentang Otsus dan menunjukkan bahwa banyak pembesar Republik ini tidak tertib hukum. Kedua, dari pelaku, proses, dan argumentasinya, juga jelas menunjukkan dominasi pembenaran politik ‘oportunis kanan’ yang memanipulasi jargon keutuhan NKRI.
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/kolom-papua
Seperti yang di jelaskan dalam berita TEMPO Interaktif diatas, dalam hal pemekaran organisai atau wilayah, ada dampak positif dan negative yang ditimbulkan;
Dampak positifnya antara lain;
§  bisa meningkatkan infrastruktur yang ada di daera tersebut
§  Meningkatkan potensi yang ada dalam tiap daerah
§  Menunjang sarana untuk kemandirian tiap usaha-usaha mikro atau makro masyarakat, seperti bertani, berdagang, dll

Dampak negatifnya antara lain;
§  Setiap kondisi daerah berbeda-beda, sehingga potensi yang dikembangkan kurang memiliki prospek yang baik kedepannya.
§  Kurangnya tenaga-tenaga ahli untuk memberikan konstribusi pada daerah yang belum mapan
§  Menimbulkan diskriminisasi terhadap daerah yang di nilai secara sosial masyarakat
Dari contoh-contoh pola weberisasi di atas, dapat di lihat bahwa pola weberisasi mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dari pola weberisasi adalah:
§  Birokrasi lebih efektif dan efisien
Kelemahan dari pola weberisasi adalah:
§  Terjadi dehumanissi hubungan antar person dalam birokrasi tersebut, sebagai efek prinsip impersonalitas dalam birokrasi.
§  Mengandalkan pola hubungan top-down sehingga cenderung hirarkis, piramidal, dan tidak demokratis.
2.      Pola Parkinsonisasi
Contoh dari gejala pola parkinsonisasi misalnya pemekaran struktur bukan karena kebutuhan yang senyatanya. Pemekaran struktur tidak diimbangi dengan kenaikan omset pelayanan, atau kenaikan pendapatan atau kenaikan produktivitas, tetapi hanya sekedar untuk memuaskan atasan. Karena ada image bahwa semakin banyak anak buah mencerminkan semakin besar kekuasaannya.
ü kasus di Indonesia, pertumbuhan pegawai negeri lebih besar prosentasenya dari pada pertumbuhan penduduk
WASPADA ONLINE
Dicari: PNS yang berkualitas Saturday, 04 December 2010 00:53  
Hingga pekan ini penerimaan CPNS di jajaran pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Sumut masih berlangsung. Pemko menyatakan pengiriman nomor ujian baru akan dilakukan 6 Desember.       
Hanya saja dari 14 ribu lebih calon pelamar yang masuk harusnya sudah mengantarkan semua berkasnya melalui kantor pos untuk disortir dan diteliti. Kita berharap penerimaan CPNS ini memang benar-benar murni dan transparan.   
Apalagi USU sebagai salah satu universitas terkemukan di provinsi ini menjadi pihak yang ikut punya andil menentukan kelulusan. Dana di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) tahun lalu ada 12 daerah yang bermasalah dalam proses seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) seperti perbuatan curang terhadap hasil tes dan merebaknya calo PNS.    
Hingga kini kantor kementerian itu memang memproses laporan tertulis dari masyarakat maupun institusi. pelanggaran dalam prosedur rekrutmen CPNS tersebut terjadi di empat provinsi, yakni Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Akibat pelanggaran tersebut, Kemen PAN-RB pun memutuskan membatalkan pengangkatan sekitar 500 CPNS di 12 daerah bermasalah tersebut.           
Sedangkan oknum yang terlibat dalam penyelewengan prosedur penerimaan CPNS, pemberian sanksinya diserahkan kepada instansi yang bersangkutan atau dilaporkan ke polisi.
Kondisi ini memang benar-benar sampai ke kementerian. Kita berharap dalam penerimaan yang digelar Desember ini pun berlangsung transparan. Kalau tidak, jangan pernah takut untuk mengadukannya sampai ke kantor kementerian.
Banyak persoalan memang mengemuka. Yang pasti kita ingin semua diselesaikan sesuai hukum berlaku. Pemerintah daerah dituntut memproses seleksi dengan baik untuk mendapatkan pegawai yang berkualitas.       
Masih data dari kementerian itu minat CPNS memang terus naik. Porsi PNS di tingkat daerah pada 2005 sebesar 76,35 persen, sementara 2009 naik menjadi 79,99 persen. Berdasarkan data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) per Mei 2010, jumlah PNS telah sebanyak 4,7 juta.           
Kemudian sebagian besar PNS di Indonesia pendidikannya SMA (35 persen) sementara yang sarjana hanya 28,9 persen. Yang pasti semua biaya operasional pegawai negeri sipil ditanggung oleh rakyat melalui anggaran pemerintah. 
Wajar kalau kemudian tuntutan untuk mendapatkan PNS berkualitas berkumandang di semua daerah. Apalagi saat ini sudah ada peringatan dari DPR tentang adanya ancaman ancamanan terhadap Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun depan.
Ancaman itu berasal dari biaya tunjangan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS), Polri, dan TNI yang bakal meningkat setiap tahun. Penyebab utamanya adalah program kenaikan gaji PNS setiap tahun. Seperti yang sudah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan nota keuangan Rancangan APBN (RAPBN) 2011 ke DPR, gaji PNS, TNI, Polri, dan pensiunan bakal naik 10 persen di tahun 2011. Tahun 2010, gaji pegawai pemerintah itu juga telah naik lima persen.
Dalam jangka pendek, DPR menilai kenaikan gaji tersebut tidak berimbas negatif bagi keuangan negara. Sebab, kenaikan gaji tersebut hanya berkisar Rp100.000-Rp 200.000 per pegawai.         
Namun, untuk jangka panjang kenaikan itu akan memperbesar gaji pokok PNS, Polri, dan TNI. Akibatnya, saat pensiun pemerintah harus menanggung beban berat.
Jumlah PNS, Polri, dan TNI selalu meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, tahun 2003 ada sebanyak 3,65 juta orang PNS, Polri dan TNI. Sementara, hingga Mei 2010 kemarin, jumlahnya membengkak menjadi sekitar 4,52 juta orang. Dari jumlah itu, sebanyak 424.961 yang berusia 56 tahun ke atas atau mendekati masa pensiun.
Jika kondisinya terus seperti ini maka 2015 pun jumlah PNS akan overload. Pemerintah pusat maupun daerah membutuhkan anggaran Rp 54 triliun untuk membayar pensiunan para PNS ini.  
Salah satu penyebab membengkaknya jumlah PNS ini akibat desentralisasi pemerintahan. Dengan desentralisasi ini, dia menilai jumlah kementerian dan lembaga juga semakin banyak. Saat ini ada 35 Kementerian, 85 lembaga dan komisi independen, 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota.       
Harusnya dengan kondisi yang terjadi wajar kita berharap seleksi PNS ini benar-benar berkualitas karena anggaran dan gaji akan dipakai dari uang rakyat.
Jumlah PNS Kuras Anggaran
Kamis, 16 September 2009
JAKARTA – Formulasi atau jumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang terlalu gemuk mulai berdampak pada membengkaknya anggaran, terutama belanja pegawai, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).      
Sebab itu, pemerintah akan mengevaluasi dengan melakukan restrukturisasi organisasi. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara EE Mangindaan mengatakan upaya restrukturisasi pegawai ini bukan sekadar wacana.           
”Kita sudah melakukan di beberapa kementerian. Kita mulai di tingkat pusat dulu dan disusul pemerintah daerah untuk mendapatkan formulasi PNS yang ideal sesuai dengan kebutuhan,” kata Mangindaan, di Jakarta, Rabu (15/9).          
Formulasi PNS harus disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan publik dan keefektifan kinerja.
Dalam rapat kerja nasional III mengemuka, formulasi PNS yang ada saat ini terlalu gemuk yang berakibat pada membengkaknya anggaran belanja pegawai di tingkat pusat maupun daerah.       
Cepatnya persentase pertumbuhan Pegawai Negeri
Proses birokratisasi relatif berjalan dengan cepat di negara Asia Tenggara. Tingkat birokratisasi yang tertinggi adalah di Malaysia dengan 40 pegawai per 1000 pada tahun 1986 diikuti oleh Indonesia dengan 19 pegawai per 1000 penduduk dan Thailand dengan 10 pegawai per 1000 penduduk. Walau pun Indonesia mempunyai tingkat birokratisasi yang terendah tetapi pertumbuhannya adalah yang tercepat karena antara 1950 dan 1988 jumlah pegawai negeri telah meningkat sebanyak lebih dari sepuluh kali lipat, dari 303 ribu menjadi 3,4 juta. Evers menamakan pertumbuhan yang cepat ini “runaway bureaucratization”.
Menurutnya, proses ini dapat dibandingkan dengan inflasi mata uang. Bila peredaran mata uang ditambah terus maka nilainya akan merosot. Bila jumlah pegawai negeri ditambah terus se-cara cepat tanpa mengingat keseimbangannya dengan beban tugas pemerintahan, maka “nilai” pegawai negeri akan semakin menurun dan terjadilah inefisiensi. Dengan kata lain, inflasi pegawai negeri tadi akan menghambat tercapainya birokratisasi seperti yang diinginkan oleh Weber.

ü  Kenaikan Tarif Dasar Listrik yang tidak di imbangi dengan pelayanan yang memuaskan


Kamis, 22/07/2010 | 23:25 WIB
PLN Benar-benar Tak Tahu Malu, TDL Naik Listrik Tetap Padam
OLEH: ARIEF TURATNO 

SEBAGIAN Jakarta hari ini, Kamis (22/7) masih dalam keadaan gelap-gulita. Maka wajar jika warga Jakarta berteriak. Karena mereka sudah menerima dengan terpaksa kenaikan tariff dasar listrik (TDL). Sebagai penjual yang baik, mestinya PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara (PLN) dapat memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan. Namun yang terjadi adalah mengecewakan. Pertanyaan dan persoalannya adalah kalau sudah begini, kepada siapa lagi rakyat harus mengadu?   
Banyak pihak sebenarnya mengusulkan agar listrik tidak dimonopoli PLN. Banyak yang mengharapkan agar listrik dijual bebas, seperti layanan telepon selulair. Dengan dijual bebas, dan swasya ikut bermain di dalamnya. Maka akan terjadi kompetisi. Dengan munculnya persaingan diharapkan harga TDL pun dapat bersaing. Artinya, siapa yang murah dan memuaskan dalam memberi pelayanan. Dialah yang akan banyak dicari pelanggan.
Sekarang dengan listrik hanya dikuasai perusahaan tunggal,  yakni PLN. Mereka jadi semacam dictator. Menekan, memaksa, atau terpaksa tidak dialiri listrik. Celakanya, masyarakat kita sudah sangat tergantung kepada listrik. Sehingga, wajar juga jika PLN semakin sewenang-wenang. Mau padam kek, mau tidak, sepertinya tidak ada yang berani mencegahnya. Cara-cara semacam ini jelas tidak sehat. Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah mendiamkan persoalan ini?      
Hal inilah yang sebenarnya menjadi keluhan masyarakat. Pemerintah, sebagai pemilik perusahaan listrik mestinya dapat mengendalikan, dapat memenej sedemikian rupa, sehingga rakyat tidak perlu dirugikan. Kenyataannya pemerintah seperti bersikap masa bodoh. Cuek bebek, dan pura-pura tidak tahu. Lebih ironisnya, ternyata PT (Persero) PLN sendiri seperti tidak tahu malu. Karena membiarkan rakyat menghujat dan mencaci-maki.          
Di Lampung dan beberapa daerah terpencil lainnya memang ada listrik yang dikelola masyarakat atau swasta. Dengan dikelola masyarakat atau swasta seharusnya rakyat atau pelanggan dapat memperoleh harga TDL yang lebih murah. Sebagian memang dapat menikmati listrik murah. Namun kebanyakan malah harga TDL lebih mahal dari tarif PLN. Mengapa? Ini terjadi karena dalam pengelolaan listrik swasta itu melibatkan para preman, seperti yang terjadi di beberapa daerah di Lampung.        
Menejemen model preman ini memang tidak ada aturan dan ukurannya. Mereka dapat berbuat dan bertingkah semaunya sendiri. Hal ini pun tidak dapat disalahkan. Karena biasanya keberadaan listrik swasta itu terjadi di daerah yang belum dilalui jaringan PLN. Di wilayah yang dilalui jaringan PLN, biasanya listrik swasta tidak mampu bertahan. Dengan asumsi inilah, sehingga belum ada pihak swasta yang berani bersaing dengan PLN. Kondisi inilah yang sebenarnya sangat menguntungkan PLN. Mengapa? 
Dengan situasi semacam itu PLN dapat berdalih bahwa selama ini keberadaan mereka karena adanya subsidi. Kalau tidak disubsidi, maka TDL bisa sangat mahal. Juga karena alasan inilah, sehingga TDL dinaikan seperti sekarang rakyat harus menerima alias tidak boleh menolak. Sayangnya, sekali lagi, PLN tidak tahu malu. Seharusnya, setelah rakyat tidak banyak cingcong soal kenaikan TDL, mestinya diimbangi dengan pelayanan yang lebih baik. Nyatanya? (*)

Dari contoh-contoh berita diatas, bisa dilihat bahwa pembengkakan jumlah PNS, dan masalah kenaikan Tarif Dasar Listrik yang tidak diimbangi dengan pelayanan yang memuaskan merupakan sedikit contoh dari banyak kasus gejala pola Parkinsonisasi. Ada kelebihan dan kelemahan yang ditimbulkan dari gejala ini.
Kelebihan dari gejala pola parkinsonisasi ini adalah:
Ø  Kemampuan birokrasi untuk menangai masalah besar
Ø  dapat menampung tenaga kerja (meskipun secara analisis cost-benefit tetap merugikan masyarakat karena pembiayaan bagi pegawai pemerintah itu ditanggung masyarakat)
Ø  dengan tenaga birokrasi banyak, kekuatan politik yang berkuasa bisa besar (efek politizing pegawai pemerintah)
Ø  Mudah membuat masyarakat berbuat seperti yang dikehendaki birokrasi (mobilisasi massa)
Kelemahan dari gejala pola parkinsonisasi ini adalah:
Ø  Biaya besar ditanggung masyarakat
Ø  Demokrasi susah berkembang karena dominasi politizing birokrasi
Ø  Jika pengaruhnya semakin besar keinginan bebas masyarakat (free will) bisa terganggu
Ø  Kemampuan masyarakat untuk mengontrol birokrasi terbatas
3.Pola Orwellisasi
ü program-program pemerintah yang sifatnya Top –down

DILEMATIKA MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT DIANTARA PROGRAM-PROGRAM PEMERINTAH YANG KONTRADIKTIF

13 Januari 2009
Oleh sutardjo70
Pada orde baru kita diakrabkan dengan program Bandes (Bantuan Desa), yang pada akhirnya dinilai tidak bisa membuat masyarakat mempunyai rasa memiliki akan “keberhasilan” program tersebut. Ini salah satunya mungkin karena disebabkan karena programnya Top Down (dari atas ke bawah), sehingga sekarang kita lihat betapa banyaknya kantor desa yang tidak lagi dipakai, karena memang kurang efektif. Setelah Reformasi digulirkan di Republik ini yang diawali oleh krisis ekonomi, maka salah satu akibatnya pemerintah dengan “sangat terpaksa” menaikkan harga BBM subsidi. Sebagai penyeimbang akan naiknya BBM subsidi tersebut pemerintah meluncurkan program BLT (Bantuan Langsung Tunai), yang membuat masyarakat cenerung memiskinkan diri mereka dan lebih banyak berharap mendapat bantuan dari pemerintah daripada membantu saudara-saudara disekeliling yang bisa mereka bantu sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Beberapa tahun belakangan pemerintah mulai menggarap program pemberdayaan masyarakat yang Down to Top (dari bawah ke atas), yang pada intinya program-program tersebut dilaksanakan berdasarkan keinginan dan atau kebutuhan masyarakat itu sendiri. Namun sangat disayangkan pada saat di satu sisi pemerintah coba menggali kebutuhan masyarakat akan pembangunan sangat mereka butuhkan, di sisi lain pemerintah masih meluncurkan program BLT yang katanya sebagai salah satu konsekuensi dari pengurangan subsidi BBM. Padahal BLT cenderung hanya membuat masyarakat menjadi lebih banyak menadahkan tangan dan pelaksanaannyapun penuh dengan intrik-intrik politik ayam sayur (Keluarga si anu didaftarkan sebagai penerima manfaat BLT walaupun disebelah rumah si anu tersebut masih ada keluarga yang hidupnya lebih lemah dari segi ekonomi). Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, itulah induk program pemberdayaan masyarakat yang sedang digarap pemerintah yang katanya minimal program ini akan berjalan hingga tahun 2015. Program ini memang lebih matang dalam persiapan petunjuk pelaksanaan dan pengawalan terhadap kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi, seperti ketika ada anggota masyarakat mengetahui ada penyelewengan dana maka dapat melaporkan apakah melalui jalur pengaduan yang disediakan ditingkat bawah maupun melalui jalur on line pada masing-masing program. Sangat disayangkan pada pelaksanaan dilapangan ditemukan beberapa kejanggalan yang membuat kita geli melihatnya. Contohnya saja ada program “X” (edit text) yang setelah melalui penjaringan usulan dimasyarakat maka masyarakat tersebut mengajukan proposal untuk membuat sarana umum. Nah, pada saat verifikasi lapangan dilakukan oleh penyelanggara program maka didapati mayoritas dari tim verifikasi itu berisikan pegawai pemerintah dari basic diluar Pekerjaan Umum, apakah itu dari dinas pendidikan, dinas pertanian, dinas peternakan. Muncul suatu pertanyaan yang tidak perlu dijawab “Dapatkah tim verifikasi dengan kapasitas seperti diatas menentukan apakah program tersebut dapat dilaksanakan dengan memasukkan analisa berapa banyak keterlibatan Rumah Tangga Miskin dalam program tersebut, apakah komposisi bahannya sudah memenuhi standar pembangunan versi PU?”. Sangat disayangkan Tim di pusat yang sudah susah-susah membuat rancangan program namun dalam pelaksanaan dilapangan terkesan agak disepelekan terhadap aturan-aturan yang telah dibuat. Belum lagi setiap kepala daerah/wilayah otomatis diikutkan dalam struktur pelaksana program namun mereka tidak otomatis memahami atau mencari tahu sehingga bisa memahami program yang berjalan di daerah kekuasaaan mereka. Suatu kewajaran apabila cukup banyak saudara-saudara kita yang memiliki kecenderungan lebih senang menjalankan program dengan sumber dana dari non pemerintahan. Karena ketika kita menjalankan program yang sumber dananya dari lembaga non pemerintah (NGO) maka kita dapat berimprovisasi dalam menjalankan tugas mulia itu demi suksesnya program, kalau kita bekerja pada program pemerintah maka kita selalu disibukkan oleh birokrasi yang komplek permasahannya dan belum lagi interfensi-interfensi dari oknum pejabat pemerintahan terhadap pelaksanaan program, apakah itu masalah wilayah yang akan menerima program atau pribadi-pribadi calon penerima manfaat. Semoga kedepan pemerintah dapat menyadari bahwa NGO/LSM hadir selain dari keidakpuasan atas kebijakan pemerintah yang cenderung kurang berpihak kepada masyarakat akar rumput juga malah untuk menjalanka PR pemerintah terhadap rakyat jelata tersebut. Jadi kedepan diharapkan tidak ada lagi pemerintahan yang tidak mau tahu dengan program-program NGO yang berjalan di wilayah kekuasaannya karena itu semua hanya ada demi masyarakat yang notabenenya adalah masyarakat pemerintah. Semoga (Abu Hawari)
Filed under: peternakan menggila by ahmad shantosi — 3 Komentar                                                                9 Maret 2010
1. TOP DOWN       
Pembuatan Kandang Kelompok Ternak Dalam Program GOS (Gerakan Optimalisasi Sapi Potong) di Sulawesi Selatan
Pembuatan kandang kelompok dalam program GOS ( Gerakan Optimalisasi Sapi Potong) adalah salah satu program pemerintah yang berpola top down. kelompok ternak dalam program ini mendapat 75 ekor sapi untuk dipelihara secara kelompok dan mendapat kandang ternak kelompok yang didanai dari program tersebut. Ternyata kandang kelompok yang dibuat tidak sesuai dengan keinginan peternak, dibuat oleh kontraktor tanpa konsultasi dengan kelompok peternak, didirikan ditanah pribadi ( kepala desa /ketua kelompok) bukan tanah negara /tanah wakaf, akhirnya para peternak kembali seperti semula dipelihara di tempat masing-masing ( di kolong rumah) , dengan berbagai alasan; terlalu jauh untuk kontrol ternak, kesulitan jaga malam di kandang kelompok, tidak semua anggota berkomitmen dalam memelihara ternak secara berkelompok dll.

Dari kegagalan-kegagalan yang dialami selama ini seharusnya sudah menjadi petunjuk atau bahan pelajaran bagi pemerintah bahwa pendekatan top down (dari atas ke bawah) dalam penetapan dan pengimplementasian program, adalah tidak efektif. Yang dimaksudkan dengan pendekatan top down adalah suatu pendekatan di mana pemerintah sendiri yang menentukan, merencanakan dan mengendalikan program, sedangkan masyarakat sasaran hanya sebagai obyek yang menerima program, bukan sebagai subyek yang mengelola program. Anehnya, kendatipun pemerintah mengalami kegagalan yang berulang-ulang, tetapi toh pendekatan top down sampai sekarang ini masih saja tetap digunakan. Hal ini tentunya mengundang pertanyaan, apakah benar bahwa pemerintah betul-betul serius membangun masyarakat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraannya? Dari kegagalan yang ada timbul kesan bahwa pembangunan yang dilaksanakan selama ini hanya sekadar rutinitas, atau hanya sekadar proyek.
Dari penjelasan dan contoh kasus program top-down yang dilakukan oleh pemerintah, dari situ bisa melihat kelebihan-kelebihan pola Orwellisasi ini.
Kelebihan dari pola ini adalah:
Ø  Tanggung jawab terhadap kebutuhan masyarakat besar
Ø  Masyarakat tidak perlu bekerja serta memberi masukan program tersebut sudah dapat berjalan sendiri karena adanya peran pemerintah yang optimal.
Ø  Hasil yang dikeluarkan bisa optimal dikarenakan biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh pemerintah.
Ø  Mengoptimalkan kinerja para pekerja dipemerintahan dalam menyelenggarakan suatu program.
Kelemahan dari pola ini adalah:
Ø  Masyarakat tidak bisa berperan lebih aktif dikarenakan peran pemerintah yang lebih dominan bila dibanding peran dari masyarakat itu sendiri.
Ø  Masyarakat tidak bisa melihat sebarapa jauh suatu program telah dilaksanakan.
Ø  Peran masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil dari suatu program tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan program tersebut dari awal hingga akhir.
Ø  Tujuan utama dari program tersebut yang hendaknya akan dikirimkan kepada masyarakat tidak terwujud dikarenakan pemerintah pusat tidak begitu memahami hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat.
Ø  Masyarakat akan merasa terabaikan karena suara mereka tidak begitu diperhitungkan dalam proses berjalannya suatu proses.
Ø  Masyarakat menjadi kurang kreatif dengan ide-ide mereka.
Ø  Bisa memberatkan keuangan negara

2 comments: