Monday, February 28, 2011

Pernikahan Beda Agama


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi suku, agama, dan ras, terdapat berbagai macam masalah yang timbul di dalamnya. Seperti misalnya masalah di dalam pembagian harta warisan dalam keluarga, masalah mengenai jenis adat apa yang berlaku dalam suatu aturan keluarga.
Salah satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat sekarang ini ialah, dimana sering kita jumpai terjadinya pelangsungan Pernikahan Beda Agama.      
            Negara Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan terbentuk dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke.Dalam wilayah yang luas dan banyak terpisahkan oleh lautan itu, hidup golongan-golongan masyarat yang berbeda latar belakang satu sama lain.Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam tersebut, baik dari segi budaya, suku, ras, agama, kontak antar satu golongan masyarakat satu dengan yang lain sudah tentu tidak dapat dihindarkan. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam masyarakt yaitu berupa perkawinan campuran.   
            Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan di kemudian hari. Ole karena itu kemudian hal ini banyak mendapat tentangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di negara kita serta hukum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.
Islam sendiri sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia sebenarnya juga menentang keras mengenai keberadaan perkawinan antar agama di dalam masyarakat Indonesia saat ini. Sangat dilarang bagi umat Islam untuk menikahi pasangan yang non muslim. Larangan ini dapat kita jumpai dalam sumber-sumber hukum Islam yang menyebutkannya secara implisit maupun eksplisit.     Namun ada juga pertentangan dalam Islam sendiri mengenai penafsiran sumber-sumber hukum Islam tersebut yang menyangkut perkawinan beda agama. Ada mazhab yang memberikan sedikit kelonggaran dalam pelaksanaan perkawinan beda agama dengan kondisi-kondisi yang sudah ditentukan sebelumnya. Sementara mazhab yang lain secara tegas menentang segala bentuk perkawinan antara muslim dengan non-muslim.          
Dengan adanya berbagai perbedaan pandangan mengenai perkawinan beda agama ini, maka tim penyusun makalah ini tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, terutama dilihat dari perspektif hukum Islam. Hal ini dikarenakan tidak dapat kita pungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia menganut agama Islam sehingga sudah barang tentu hukum Islam diperhitungkan sebagai salah satu sistem hukum yang banyak hidup di tengah masyarakat Indonesia.Dengan begitu hukum Islam dapat menjadi salah satu tolak ukur dalam menilai masalah perkawinan beda agama ini.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara.Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat- syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbedaagama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri.Berdasarkanketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia,telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antaragama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku diIndonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih sajaterjadi danakan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warganegara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadididalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad denganLydia Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara denganHenri Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan NiaZulkarnaen, Dedi Kobusher dengan Kalina, Frans dengan Amara, SonnyLauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih banyak lagi.
B.      Permasalahan
            Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secarategas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur danmelaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensipemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bilatidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di KantorCatatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda agama yangdilakukan diluar negeri.
C.      Rumusan Masalah
1.      Apa konsep dan pengertian dari pengertian beda agama?
2.      Apa permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama?
3.      Apa saja sumber-sumber hukum yang mengatur tentang perkawinan beda  agama?
4.      Bagaimana pandangan agama dan masyarakat terhadap perkawinan beda agama?
D.     Batasan Masalah
Dari sekian ulasan masalah yang telah penulis uraikan dalam rumusan masalah bahwa masalah perkawinan beda agama di Indonesia  masih menjadi masalah berkelanjutan. Penulis akan membatasi masalah yang berkaitan dengan judul makalah yaitu “Perkawinan Beda Agama di Indonesia”
E.      Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk melatih keterampilan, kecermatan, ketelitian dan kerja sama kita dalam memecahkan suatu masalah sosial yaitu perkawinan beda agama di Indonesia yang berkaitan dengan ilmu agama islam dan guna menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam yaitu Bapak Miftah Ahmad Fathoni. Selain itu, penulisan ini juga bertujuan untuk melatih softskill kita dalam memperhatikan masalah sosial yang terjadi di masyarakat, Untuk mengerti mengenai konsep dan pengertian dari pengertian beda agama, Mengetahui sumber-sumber hukum yang mengatur tentang perkawinan beda agama, Mengetahui pandangan agama dan masyarakat terhadap perkawinan beda agama. Makalah ini juga dapat memberikan manfaat, yaitu untuk menambah pengetahuan kita mengenai Agama khususnya tentang masalah perkawinan beda agama di Indonesia,  sehingga kita dapat mengetahui mengapa kasus perkawinan beda agama bisa menjadi masalah sosial umumnya di Indonesia.
F.       Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu dengan studi kepustakaan.browsing di internet dan dengan melalui metode penjelasan dari dosen Pendidikan Agama Islam.
G.     Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan mengkaji masalah perkawinana beda agama dengan segala kompleksitasnya dengan berbagai pendekatan.










BAB II
PEMBAHASAN
A.     Arti Perkawinan
              “Perkawinan” menurut istilah ilmu Fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “ziwaj”. (Kamal Mukhtar, 1974 : 1)

              “Nikah” menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Arti yang sebenarnya dari “nikah”, ialah “dham”, yang berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul”, sedang arti kiasannya ialah “watha” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti “mengadakan perjanjian pernikahan”. Dalam pernikahan bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang sebenarnya, bahkan “nikah” dalam arti yang sebenarnya jarang sekali dipakai pada saat ini. (Kamal Mukhtar, Loc. Cit)
B.      Tujuan Perkawianan
              Sedikitnya ada empat macam yang tujuan perkawinan.Keempat macam tujuan perkawinan itu hendaknya benar-benar dapat dipahami oleh calon suami atau isteri,supaya terhindar dari keretan dalam rumah tangga yang biasanya berakhir dengan perceraianyang sangat dibenci oleh Allah.
1.      Menentramkan Jiwa
2.      Mewujudkan (Melestarikan)Turunan
3.      Memenuhi Kebutuhan Biologis
4.      Latihan Memiliki Tanggung Jawab
Keempat faktor yang terpenting (menentramkan jiwa,melestarikan turunan,memenuhi kebutuhan biologis dan latihan bertanggung jawab),dari tujuan perkawinan perlu mendapat perhatian dan direnungkan matang- matang ,agar kelangsungan hidup berumah tangga dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.
C.      Perkawinan Menurut Hukum Agama
Perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama yangdianut oleh calon pasangan yang akan melaksanakan pernikahan. Keduapasangan suami isteri tersebut menganut agama yang sama. Jika antarakeduanya menganut agama yang berlainan, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya menganut agama calon lainnya  tersebut.
D.     Perkawinan Menurut Hukum Nasional
1.       Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungankeperdataan saja.Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-undang terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan.  Undang-undang hanya  mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil.
Demikian juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan, hanya dibutuhkan dua macam syarat, yaitu:
  1. Syarat materil, yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat ini meliputi:
A.       Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:
1.     Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUHPerdata).
2.Persetujuan dari calon suami dan istri (Pasal 28 KUHPerdata).
3.     Interval 300 hari bagi seorang wanita yang pernah kawin dan ingin kawin kembali (Pasal 34 KUHPerdata).
4.     Harus ada izin dari orangtua atau wali  bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 – Pasal 49 KUHPerdata.
B.         Syarat materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang  untuk kawin dengan orang tertentu, yang terdiri atas 2 macam:
1.      Larangan kawin dengan keluarga sedarah.
2.      Larangan kawin karena zinah
3.      Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.
Syarat formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai Catatan Sipil (Pasal 50 – 51 KUHperdata).
2.      Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (UU Perkawinan) maka semua perundang-undangan perkawinan Hindia Belanda dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 66 UU Perkawinan.
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita saja. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dianggap  sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil.
Pasal 6 UU Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan perkawinan, yaitu:
  1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
  2. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat izin kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan  kehendaknya. Apabila keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
  3. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan perkawinan.
  4. Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.
Sementara, untuk larangan kawin, UU Perkawinan (Pasal 8) prinsipnya hanya melarang terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan sedarah, semenda, susuan atau hubungan-hubungan yang dilarang oleh agamanya atau peraturan lain.
UU Perkawinan memandang perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, melainkan juga dari aspek agama. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut UU Perkawinan, kedua aspek ini harus terpenuhi keduanya. Bila perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang negara, tanpa memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap tidak sah. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan hanya memperhatikan unsur hukum agama saja, tanpa memperhatikan atau mengabaikan Undang-undang (hukum negara), maka perkawinan dianggap tidak sah.
Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam pasal 2 UUP adalah :
1.      Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaanya itu.
2.      Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (PP No. 9/1975). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaanya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (pasal 2 PP No. 9/1975).


E.      Status Perkawinan Beda-Agama Dalam Hukum Nasional
UU Perkawinan tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda.Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat.Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara.Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda.Perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak.     
Prof. Wahyono Darmabrata menyebutkan ada 4 cara yang populer ditempuh oleh pasangan beda-agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:
1.      Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.
2.      Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3.      Penundukan sementara pada salah satu hukum agama
4.      Perkawinan dilakukan di luar negeri.
Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwaa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Namun, menurut Prof. Wahyono Darmabrata, perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama.Artinya, tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.
F.       Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama
        Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yangmenyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara duaorang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karenaperbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraanIndonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan bedaagama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehinggasemestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUAdan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atauperkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntasdan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak maumencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebutbertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor CatatanSipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukanmenurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinantentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menuruthukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinankedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukumagama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaankedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berartisatu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagimenurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan denganmenganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suamiatau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti ataumenundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaanpasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidaksecara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agungsudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama padatanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat
suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaankedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasiuntuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama danselama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agamamerupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan denganjiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagisetiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaanprinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengankedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadikekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup diIndonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikitterjadi perkawinan antar agama.Maka MA berpendat bahwa tidak dapatdibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinanantar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akanmenimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupunberagama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan
antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterimapermohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yangberwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteritidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antaragama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi,namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisikekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No.1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikansebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinanantar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu darisumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untukmelangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada KantorCatatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salahsatu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa denganmengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukanstatus agamanya.Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagimerupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapanbahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam.Dengan demikianKantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebutbukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yangberbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salahsatu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukandengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agamatersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yangmengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warganegara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agamatersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidakdalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan dikantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.Artinya perkawinanantar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbedaagama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.
G.     Pandangan Agama-agama Tentang Perkawinan Beda Agama
a. Pandangan Agama Islam
            Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman.Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati.Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.(Al-Baqarah [2]:221)
            Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama Islam. (O.S. Eoh, 1996 : 117)

a.      Pandangan Agama Katolik
Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan perkawinan tidak sah, yaitu perbedaan agama. Bagi Gereja Katholik menganggap bahwa perkawinan antar seseorang yang beragama katholik dengan orang yang bukan katholik, dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik dianggap tidak sah
Disamping itu, perkawinan antara seseorang yang beragama Katholik dengan orang yang bukan Katholik bukanlah merupakan perkawinan yang ideal.
Hal ini dapat dimengerti karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen sedangkan agama lainnya (kecuali Hindu) tidak demikian karena itu Katholik menganjurkan agar pengahutnya kawin dengan orang yang beragama katholik.(Ibid. , h. 118-119).
b.      Pandangan Agama Protestan
Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama, karena tujuan utama perkawinan untuk mencapai kebahagiaan sehingga akan sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman.
Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragma Protestan dengan pihak yang menganut agama lain, menurut Pdt. Dr. Fridolin Ukur (1987:2), maka:Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing.Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus.Pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka.
Ada gereja-gereja tertentu yang memberkati perkawinan campur ini beda agama ini, setelah pihak yang bukan protestan membuat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan.
Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suami atau isteri yang beriman.
Ada pula gereja tertentu yang bukan hanya tidak memberkati, malah anggota gereja yang kawin dengan orang yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja. (Ibid. , h. 122-123).


c.       Pandangan Agama Hindu
Perkawinan orang yang beragama Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan. Menurut Dde Pudja, MA (1975:53), suatu perkawinan batal karena tidak memenuhi syarat bila perkawinan itu dilakukan menurut Hukum Hindu tetapi tidak memenuhi syarat untuk pengesahannya, misalnya mereka tidak menganut agama yang sama pada saat upacara perkawinan itu dilakukan, atau dalam hal perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan menurut hukum agama Hindu.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mensahkan suatu  perkawinan menurut agama Hindu, harus dilakukan oleh Pedande/Pendeta yang memenuhi syarat untuk itu. Di samping itu tampak bahwa dalam hukum perkawinan Hindu tidak dibenarkan adanya perkawinan antar penganut agama Hindu dan bukan Hindu yang disahkan oleh Pedande.
Dalam agama Hindu tidakdikenal adanya perkawinan antar agama.Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan, hal ini melanggar ketentuan dalam Seloka V89 kitab Manawadharmasastra, yang berbunyi:
Air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggaal bunuh diri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama dimana salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak boleh dan pendande/Pendeta akan menolak untuk mengesahkan perkawinan tersebut. (Ibid. , h. 124-125).
d.      Pandangan Agama Budha
            Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajidkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha.
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.
            Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua mempelai diwajibkan untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi praktek perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha akan merasa keberatan. (Ibid. ,h. 125).
H.     Macam Pernikahan Beda Agama
Dalam agama Islam ada  2 macam pernikahan beda agama
1.      Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam.
2.      Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam.
2.1.   Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab.
2.2.   Lelaki Muslim dengan perempuan non Ahli Kitab.
2.2.1.      Perkawinan dengan wanita musyrik.
2.2.2.      Perkawinan dengan wanita majusi.
2.2.3.      Perkawinan dengan wanita shabi’ah.
2.2.4.      Perkawinan dengan wanita penyembah berhala.
a.      Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam.
            Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat AlBaqarah(2):221,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnyawanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamumenikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnyabudak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran & Idquo; Jadi, wanita musliman dilarangatau diharamkan menikah dengan non muslim, apapun alasannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Alquran diatas. Bisa dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non Islam, maka akan dianggap berzina. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
            Sayid Sabiq (Fiqh As-Sunnah, jilid II:95) mengatakan bahwa ulama fikih sepakat mengharamkan perkawinan perempuan Muslim dengan pria non-Muslim dari golongan mana pun sebagaimana dilansir dalam Q.S. Al-Baqarah/2:221. Menurut Ali Ash-Shabuni (Rawai Al-Bayan -tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Quran, Juz I:289) Q.S. Al-Mumtahanah/60:10 mengandung kemutlakan yang mencakup juga ahlulkitab dan non-Muslim lainnya termasuk murtad dari Islam.
            Maulana Muhammad Ali (Quran Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir, terjemahan, 1993:119) mengatakan bahwa Alquran sebenarnya tidak menyebutkan secara tegas larangan perkawinan wanita Muslim dengan pria non-Muslim.Namun dalam praktiknya mayoritas umat Islam sejak dulu memang menolak model perkawinan tersebut. Ketidaksetujuan itu semata-mata didasari atas ijtihad bahwa seorang wanita Muslim yang menikah dengan pria non-Muslim akan menemukan banyak problem jika tinggal dalam keluarga non-Muslim.
            Mahmoud Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim (Dekonstruksi Syari'ah/2001:345-346) berpendapat bahwa larangan pengharaman perkawinan model ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang di mana wanita dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama di depan hukum, larangan ini sudah tidak berlaku lagi.
            Sejalan dengan itu, penelitian sosial yang dilakukan Noryamin Aini mengenai praktik perkawinan beda agama di Yogyakarta mendapatkan hasil mengejutkan. Di mana figur ibu secara konsisten sangat dominan membawa anak-anaknya memeluk agama yang dianutnya.Data ini meruntuhkan asumsi dan mitos klasik seperti yang dikutip Maulana Muhammad Ali. Untuk itu, tidak ada lagi alasan empiris yang dapat dijadikan dasar melarang perkawinan beda agama. (Gatra: 21 Juni 2003). Zainun Kamal berpendapat bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan pria non-Muslim mana pun selain pria kafir musyrik Quraisy. Menurutnya, Q.S. Al-Mumtahanah/60:10 bermaksud melarang perkawinan wanita Muslim dengan pria kafir musyrik Quraisy, bukan lainnya. Pendapat ini diambil dari Ibnu Katsir, Tafsir Alquran Al-Adzim, Jilid 4 hal 19, Al- Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, Jilid 4 hal 92 dan Al-Fakhruddin Al-Razi, Tafsir Al-Kabir, Jilid 29 hal 305.
b.      Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam.
b.1. Laki-laki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab.
1.       Menurut pendapat Jumhur Ulama Baik Hanafi,Maliki,Syafi’i maupun Hambali,seorang pria muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) negara Islam(ahli Dzimmah).
2.       Golongan Syi’ah Imamiah dan syi’ah Zaidiyah berpendapat,bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab.
Golongan pertama (Jumhr Ulama) mendasarkan pendapat mereka kepada beberapa dalil Firman Allah dalam surah al-maidah ayat 5
Al-Maaidah:5
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.(Al-Maaidah Ayat 5)”
Golongan kedua (Syi’ah)melandaskan pendapatnya pada beberapa dalil, Firman Allah: Dan jangan lah kamu nikahi wanits-wanita musyrik,sebelim mereka beriman...(al-Baqarah:221)
Firman Allah:
Artinya:Dan janganlah kamu berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir,(al-Muntahanah:10)
Kalau kita perhatikan pendapat Syi’ah (Imamiyah dan Zaidiyah) maka mereka menganggap bahwa ahli kitab itu musyrik.Akan tetapi didalam Al-quran sendiri dinyatakan bahwa ahli kitab dan musyik itu tidak sama,sebagaimana firman Allah:
Artinya:Sesungguhnya oramg-orang kafir,yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik(akan masuk)keneraka jahanam ,mereka kekal didalamnya.Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk(al-Bayinah:6)
Dalam ayat diatas cukup jelas,bahwa ahli kitab dan musyrik itu berbeda.Kemudian dikalangan Jumhur Ulama membolehkan kawin dengan ahli kitab,juga berbeda pendapat
1.      Sebagian mazhab Hanafi,Maliki,Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa perkawinan itumakruh.
2.      Menurut pendapat sebagian mazhab Maliki,Ibnul Qosim,Khalil bahwa perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat Malik.
3.      Az-Zarkasyi(mazhab Syafi’i)mengatakan bahwa pernikahan itu disunatkan apabila wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam,Sebagai contohnya adalah perkawinan Usman bin Affan dengan Nailah,sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini.sebagian mazhab Syafi’i pun ada yang berpendapat demikian.
Kendatipun Jumhur Ulama membolehkan kawin dengan wanita-wanita ahli kitab,akan tetapi perlu direnungkan lebih mendalam tentang dampak negatip dari perkawinan itu.Tujuan berumah tangga (perkawinan) itu adalah untuk memperoleh ketentraman dan ketenangan jiwa serta mendapatkan turunan yang baik-baik(saleh).Apakah mungkin ketenangan jiwa diperoleh dalam suatu rumah tangga yang berlainan akidahdan apakah mungkin mendidik anak-anak yang saleh dalam satu keluarrga yang beragam keyakinan?
Yang lebih aman adalah menghindar dari persoalan-persoalan yang banyak mengandung teka-teki dan memilih jalan yang sudah jelas arahnya,yaitu kawin dengan sesama muslim.Dengan demikian resiko yang dihadapi lebih kecil dalam membina rumah tangga .Dalam agama Islam ada suatu prinsip,yaitu suatu tindakan preventip(pencegahan) Ibaratnya menjaga kesehatan lebih utama atau lebih baik daripada mengobatinya setelah dibiarkan sakit terlebih dahulu.Membenarkan kawin dengan wanita non muslim berarti mengundang penyakit,yaitu penyakitkufur(murtad)memghindari kawin dengan mereka berarti telah mengadakan tindakan preventif.Kaidah fiqh mengatakan: Menghindar dari kemudaratan harus didahulukan atasmencari/menarik maslahat (kebaikan)
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam,pasal 40 ayat (c),dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria beragama Islam dengan wanita yang tidak beragama Islam.Sebaliknya pasal 44 disebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang wanita yang beragama Islam dengan pria yang bukan beragama Islam.Apa yang telah ditetapkan dalam Kompilasi hukum Islam itu telah tepat dan keputusan yang amat bijaksana bagi bangsa kita yang mayoritas memeluk agama Islam.
b.2. Lelaki Muslim dengan perempuan non Ahli Kitab.
            b.2.1. Perkawinan dengan wanita musyrik
Al-Baqarah:221Agama Islam tidak memperkenankan pria muslim kawin dengan wanita musyrik,sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:





Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Surat Al-Baqarah Ayat 221)
Nash diatas dengan jelas melarang mengawini wanita musyrik.Demikian juga pendapat para ulama menegaskan demikian.
b.2.2. Perkawinan dengan wanita majusi
Pria muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi(penyembah api),sebab mereka tidak termasuk ahli kitab.Demikian pendapat Jumhur Ulama,dan yang dimaksud dengan ahli kitab adalah yahudi dan nashara.
Sedangkan golongan Zhahariyah memperbolehkan pria muslim kawin drngan wanita majusi karena orang-orang majusi dimasukkan kedalam kelompok ahli kitab.yang dianggap paling tepat adalah pendapat Jumhur Ulama,yaitu pria muslim tidak diperbolehkan kawin dengan wanita majusi,sebab mereka tidak termasuk ahli kitab,sebagaimana ditegaskan dalam fiirman Allah:
 yang artinya:
(Kami turunkan Al-quran itu)agar kamu(tidak)menyatakan:Bahwa Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan(Yahudi dan Nasrani) saja sebelum kami dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca QS al-An’aam:156
Sekiranya orang-orang majusi dianggap sebagai ahli kitab,makadalam ayat tersebut seharusnya disebut tiga golongan bukan dua golangan.
b.2.3. Perkawinan dengan Wanita Shabi’ah
Shabi’ah adalah satu golongan dalam agama Nasrani,Shabi’ah dinisbatkan kepada Shab paman Nabi Nuh as.ada pula yang berpendapat dinamakan Shabi’ah karena berpindah dari satu agama kepada agama yang lain.
Ibnul Hamman mengatakan,bahwa orang-orang Shabi’ahadalah golongan yang memadukan antara agama yahudi dan Nasrani.Mereka menyembah bintang-bintang,dalam berbagai buku hadis disebutkan,bahwa mereka termasuk golongan ahli kitab.
Menurut riwayat Umar,bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari Sabtu.Sedangkan Mujahidmenganggap,mereka berada diantara agama yahudi dan Nasrani.
Imam Syafi’i mengambil jalan tengah,yaitu apabila mereka lebih mendekati keyakinan mereka kepada salah satu agama(Yahudi atau Nasrani),Maka orang tersebut termasuk
Para ulama ber beda pendapat yang mengatakan termasuk ahli kitab dan ada pula yang mengatakan tidak.Demikian pula maka hukum perkawinan dengan wanita shabi’ahjuga berbeda pendapat.Abu Hanifah berpendapat boleh kawin dengan wanita shabi’ah.sedang Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan asy Syaibani tidak membolehkannya,karena mereka menyembah patung-patung dan bintang-bintang.Pendapat Maliki juga sejalan dengan pendapat iniMazhab Syafii dan mazhab Hambali membuat garis pembatas dalam maslah ini,jika mereka menyerupai orang-orang yahudi atau nasrani dalam prinsip-prinsip agamanya,maka wanita shabi’ah itu boleh dikawini.Tetapi bila berbeda dalam hal-hal prinsip berarti mereka tidak termasuk golongan yahudi atau nasrani dan berarti pula bahwa wanita shabi’ah itu tidak boleh dikawini oleh pria muslim.
b.2.4. Perkawinan dengan Wanita Penyembah Berhala
Para ulama telah sepakat bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanit a penyem bah berhala,dan penyembah benda –benda lainya,karena mereka termasuk orang-orang kafir,sebagaimana firman Allah :
Artinya:Dan janganlah kamu berpegang pada tali(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir...(al-Muntahanah:10)
Pada ayat lain Allah berfirman:
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman(al-Baraqarah:221)

Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :
1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram
4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas isterinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta mlindungi hak-hak dan kehormatannnya dengan syariat dan bimbingannya. Akan tetapi, agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama.
























BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       Hukum perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab menurut pendapat Jumhur Ulama diperbolehkan asalkan berada didalam kekuasaan negara islam.
b.      Menurut Golongan Syi’ah dan Zaidiyah tidak membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab karena mereka disamakan dengan wanita –wanita musyik atau wanita yang tidak beriman kepada Allah
c.       problem yang mungkin akan dihadapi seandainya laki-laki muslim kawin dengan wanita ahli kitab adalah tidak adanya ketentraman dan ketenangan jiwa serta tidak akan mendapatkan keturunan yang saleh karna tidak mungkin anak yang saleh terdidikdari orang tua yang berlainan agama
d.      Penolakan terhadap perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.
2.      Saran
a.      Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, maka hal tersebut juga merupakan bagian dari hak warga negara yang mesti dilindungi dan dipenuhi haknya. Asumsi dasar dari pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yang bersifat yuridis-formal. Maka, materi-materi di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI perlu diperbaharui untuk tujuan penyempurnaan, sehingga mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang muncul di masyarakat, baik dalam aturan formil maupun materil.
b.      Penolakan atas perkawinan beda-agama merupakan tindakan yang diskriminatif berdasarkan agama.Negara perlu segera melakukan harmonisasi dari seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak dasar sebagai wujud konkrit dari pengakuan atas HAM dan untuk menjaga kepastian hukum sehingga tidak ada lagi warga negara yang melakukan perkawinan dengan memanfaatkan celah-celah dalam peraturan perundang-undangan.Pengakuan terhadap perkawinan beda-agama juga dapat meminimalisir ekses-ekses negatif yang mungkin timbul dalam masyarakatsekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat menjiwai hak-hak asasi manusia yang sudah seharusnya melekat dalam setiap manusia.


























DAFTAR PUSTAKA
Abdul,Mua’al M.al-Jabri. 1994. Perkawinan antar Agama Tinjauan Islam,(terjemahan)Risalah Gusti. Surabaya
Departemen Agama. 1989. Al-Quran dan terjemahannya. Surabaya: Mahkota
Undang-undang Perkawinan No.1/1974
Soimin,Soedharyo SH. 2002. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Jakara: CV Haji Masaung,

No comments:

Post a Comment