Monday, February 28, 2011

Perkawinana Beda Agama Dalam Perspektif HAM


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Intensitas dan Kompleksitas Masalah
Dalam perspektif HAM, membentuk keluarga melalui pernikahan merupakan hak prerogatif pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinannya. Namun sayangnya, realitas ini tidak cukup disadari oleh negara, bahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KHI tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama.
Sebagai sebuah instrumen hukum, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maupun KHI di samping merupakan sandaran atau ukuran tingkah laku atau kesamaan sikap (standard of conduct), juga berfungsi sebagai suatu perekayasaan untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih sempurna (as a tool of social engineering) dan sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya suatu tingkah laku (as a tool of justification). Fungsi tersebut ditegakkan dalam rangka memelihara hukum menuju kepada kepastian hukum dalam masyarakat. Jika asumsi ini diaplikasikan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka pembaruan terhadap beberapa pasal dalam undang-undang ini khususnya pada pasal 2 ayat (1) yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan perkawinan beda agama, menjadi sebuah keharusan. Asumsinya, negara mempunyai kewajiban untuk melayani hajat keberagamaan warganya secara adil tanpa diskriminasi. Implikasi dari kewajiban negara tersebut harus diartikan secara luas terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum. Atas dasar itu, negara harus memenuhi hak-hak sipil warga negaranya tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut.
1.2. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan.
Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh negara.Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita.
Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks.Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran, perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama.
Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan beda-agama.Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan yang terkadang bias dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama.
Biasanya, untuk mencegah terjadinya perkawinan beda-agama yang masih belum diterima dengan baik oleh masyarakat, biasanya salah satu pihak dari pasangan tersebut berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak sehingga perkawinannya pun disahkan berdasarkan agama yang dipilih tersebut. Walaupun demikian, di tengah-tengah masyarakat, pro-kontra pendapat terjadi sehubungan dengan perkawinan beda-agama ini. Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri sehingga negara tidak perlu melakukan pengaturan yang memasukkan unsur-unsur agama. Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda-agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima.
Di sisi lain, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadi perubahan yang signikan, terutama dalam hal penegakan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM). Aspek-aspek dalam HAM terus menjadi sorotan masyarakat dunia karena semakin timbiul kesadaran bahwa muatannya merupakan bagian inheren dari kehidupan dan jati diri manusia. Makalah ini memaparkan sejauh mana perkawinan beda-agama mendapat tempat dalam peraturan perundangan-undangan, dan kaitannya dengan aspek Hak Asasi Manusia (HAM).
1.3. Permasalahan
Diskursus tentang HAM terus berlanjut seiring dengan perkembangannya, tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu instrumen hukum HAM di Indonesia adalah lahirnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berisi 11 bab 106 pasal. Maka dengan lahirnya undang-undang tersebut, HAM adalah hak-hak yang diakui secara konstitusional sehingga pelanggaran terhadap HAM merupakan pelanggaran atas konstitusi. Untuk mendukung terwujudnya kesadaran kolektif atas eksistensi HAM maka pemerintah menyadari bahwa kebijakannya harus mengedepankan isu-isu HAM. Meskipun pada dasarnya HAM bukanlah berada pada wilayah politik, namun dalam praktek bernegara, terlaksananya HAM secara baik dan bertanggung jawab sangat tergantung kepada political will dan political action dari penyelenggara negara.
Salah satu kebijakan negara Indonesia dalam persoalan klasik yang tetap menjadi isu aktual dalam wacana hukum Islam (khususnya di Indonesia) adalah wacana perkawinan beda agama. Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Untuk memenuhi tuntutan bunyi pasal tersebut, maka bagi umat Islam di Indonesia melahirkan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang diantara materi-materinya adalah masalah kawin beda agama yaitu pasal 40 huruf (c) dan pasal 44. Hanya saja materi yang termuat dalam pasal tersebut adalah berupa pelarangan tegas terhadap persoalan kawin beda agama.
Larangan tersebut tentu saja perlu dikritisi lebih lanjut karena beberapa hal yaitu, pertama sebagai satu negara yang sudah memiliki instrumen hukum berupa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, idealnya negara menjamin kebebasan warganya untuk memilih pasangannya dalam membentuk sebuah keluarga. Hak untuk memilih pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh negara. Berdasarkan pasal 10 ayat (1) dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas Kenyataannya, negara justru membatasi perkawinan tersebut. Kedua, Indonesia bukan negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler sehingga di dalam pembentukan hukum nasional, pemerintah harus bisa menjamin kepastian hukum kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut, termasuk dalam persoalan perkawinan beda agama. Ketiga, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada akhirnya membentuk sebuah keluarga. Keempat, akibat tidak diaturnya ketentuan mengenai perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974, maka hal tersebut membuka ruang terjadinya penyeludupan hukum. Untuk memenuhi persyaratan formal secara perdata, suami-istri berbeda agama “rela” melangsungkan pernikahan di luar negeri tanpa memperhatikan hukum agama, atau salah satu pihak pura-pura pindah agama.
1.4. Perumusan Masalah
Oleh karena itu, kajian mengenai perkawinan beda agama dalam perspektif HAM menjadi signifikan berdasarkan kegelisahan diatas. Berikut ini akan membahas dan mengannalisa satu persoalan pokok yakni bagaimanakah pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia bila dianalisis dalam perspektif HAM?
1.5. Batasan Masalah
Dari sekian ulasan masalah yang telah penulis uraikan dalam rumusan masalah bahwa masalah perkawinan beda agam dalam perspektif HAM  masih menjadi masalah berkelanjutan di Indonesia. Penulis akan membatasi masalah yang berkaitan dengan judul makalah yaitu “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hak Asasi Mnusia”.
1.6. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk melatih keterampilan, kecermatan, ketelitian dan kerja sama kita dalam memecahkan suatu masalah sosial yaitu perkawinan beda agama dalam perspektif HAM yang berkaitan dengan ilmu sosial dan guna menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah ilmu sosial yaitu Ibu Margareta Sueyaningsih. Selain itu, penulisan ini juga bertujuan untuk melatih softskill kita dalam memperhatikan masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Makalah ini juga dapat memberikan manfaat, yaitu untuk menambah pengetahuan kita mengenai ilmu sosial khususnya tentang pernikahan beda agama dalam perspektif HAM, sehingga kita dapat mengetahui mengapa bisa menjadi masalah di Indonesia.
1.7. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu dengan kepustakaan, browsing di internet dan dengan melalui metode penjelasan dari dosen Ilmu Sosial.
1.8. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan mengkaji masalah pernikahan beda agama dalam perspektif HAM dengan segala kompleksitasnya dengan berbagai pendekatan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perkawinan Menurut Hukum Nasional
2.1.1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan keperdataan saja. Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-undang terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan.  Undang-undang hanya  mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil.
Demikian juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan, hanya dibutuhkan dua macam syarat, yaitu:
  1. Syarat materil, yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat ini meliputi:
A.    Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:
1.   Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUHPerdata).
2.   Persetujuan dari calon suami dan istri (Pasal 28 KUHPerdata).
3.   nterval 300 hari bagi seorang wanita yang pernah kawin dan ingin kawin kembali (Pasal 34 KUHPerdata).
4.   Harus ada izin dari orangtua atau wali  bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 – Pasal 49 KUHPerdata.

B.     Syarat materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang  untuk kawin dengan orang tertentu, yang terdiri atas 2 macam:
1.      Larangan kawin dengan keluarga sedarah.
2.      Larangan kawin karena zinah
3.      Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.
  1. Syarat formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai Catatan Sipil (Pasal 50 – 51 KUHperdata).
2.1.2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (UU Perkawinan) maka semua perundang-undangan perkawinan Hindia Belanda dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 66 UU Perkawinan.
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita saja. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dianggap  sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil.
Pasal 6 UU Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan perkawinan, yaitu:
  1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
  2. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat izin kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan  kehendaknya. Apabila keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
  3. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan perkawinan.
  4. Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.
Sementara, untuk larangan kawin, UU Perkawinan (Pasal 8) prinsipnya hanya melarang terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan sedarah, semenda, susuan atau hubungan-hubungan yang dilarang oleh agamanya atau peraturan lain.
UU Perkawinan memandang perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, melainkan juga dari aspek agama. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut UU Perkawinan, kedua aspek ini harus terpenuhi keduanya. Bila perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang negara, tanpa memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap tidak sah. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan hanya memperhatikan unsur hukum agama saja, tanpa memperhatikan atau mengabaikan Undang-undang (hukum negara), maka perkawinan dianggap tidak sah.
2.1.3. Status Perkawinan Beda-Agama Dalam Hukum Nasional
UU Perkawinan tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda.Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat.Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara.Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda.Perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak.
Prof. Wahyono Darmabrata menyebutkan ada 4 cara yang populer ditempuh oleh pasangan beda-agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:
1.      Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.
2.      Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3.      Penundukan sementara pada salah satu hukum agama
4.      Perkawinan dilakukan di luar negeri.
Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwaa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Namun, menurut Prof. Wahyono Darmabrata, perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama. Artinya, tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.
 2.2. Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158.
Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan”. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam GHR; kedua, kelompok yang berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR.
Soudargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada pasal 1 GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio, golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang luaslah yang banyak di dukung oleh para sarjana hukum. Namun menurut O.S. Eoh, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan antar golongan.
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni
pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.
Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”.
Bila pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat difahami bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditepkan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, hal tersebut juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing. Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka perkawinan beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.
Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Dari ketentuan pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158)  sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung asas yang bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.
2.3.      Keterkaitan Perkawinan Dengan Hak Asasi Manusia
2.3.1.   Instrumen Internasional
Sejarah perjuangan untuk mengukuhkan gagasan hak asasi manusia sudah dimulai sejak abad ke-13, yaitu sejak ditandatanganinya Magna Charta pada tahun 1215 oleh Raja John Lackland.Memang, Magna Charta sendiri saat itu hanya sekedar jaminan perlindungan bagi kaum bangsawan dan Gereja dan belum merupakan perlindungan hak asasi manusia seperti yang didengungkan saat ini. Namun, dilihat dari segi perjuangannya,  momen ini dapat dikatakan sebagai yang pertama dalam sejarah hak-hak asasi manusia.  Perjuangan yang nyata seputar hak asasi manusia baru dimulai dengan ditandatanganinya Bill of Rights oleh Raja Wilhem III pada tahun 1689 yang dianggap sebagai kemenangan parlemen atas raja. Perkembangan selanjutnya, kemudian lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran John Locke dan Rousseau.
Dasar  pemikiran filsafat John Locke terkait di kemudian hari dijadikan sebagai landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Lock berpendapat bahwa terkait dengan kehidupan bernegara yang merupakan hasil dari teori perjanjian masyarakat, ada dua instansi yang mempengaruhinya, yaitu pactum unionis yang merupakan anggapan bahwa manusia semuanya terlahir merdeka dan sama serta pactum subjectionis yang menunjukkan adanya hak-hak yang tidak tertanggalkan pada setiap individu, termasuk hak untuk hidup dan hak kebebasan.  
Setelah Perang Dunia ke-2 berakhir, sebuah deklarasi mengenai hak asasi manusia (HAM) disepakati di Paris pada tahun 1948, yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM).  Kemudian, deklarasi ini dipertegas kembali dengan dilahirkannya International Covenant on Civil and Polticial Rights (ICCPR) yang dipengesahannya oleh Indonesia dilakukan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang pengesahannya dilakukan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005. 

Mengenai perkawinan disinggung dalam Pasal 16 DUHAM. Menurut Pasal ini,  pria dan wanita yang sudah dewasa, tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak yang sama atas perkawinan, selama masa perkawinan dan pada saat perceraian.  Syarat perkawinan hanya dilihat dari faktor persetujuan saja.Perkawinan hanya dapat dilakukan bila keduanya setuju tanpa syarat.
Menurut DUHAM, keluarga merupakan sebuah kesatuan alamiah dan fundamental dari masyarakat. Oleh sebab itu, hak ini harus mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.
DUHAM menegaskan bahwa pelaksanaan hak tersebut harus dilakukan tanpa pengecualian apapun, termasuk berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Demikian juga, pembedaan tidak boleh didasarkan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.
Demikian juga dengan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dan ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dalam Pasal 23 ICCPR, disebutkan bahwa keluarga merupakan kesatuan masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara. Setiap laki-laki dan wanita yang sudah dalam usia perkawinan berhak untuk melakukan perkawinan dan hak untuk membentuk keluarga harus diakui. Syarat mendasar bagi perkawinan adalah adanya persetujuan yang bebas dari para pihak yang menikah (jo. Pasal 10 ICESCR). 
2.3.2.  Instrumen Nasional
Sejak perubahan UUD 1945 (UUD 1945 Amandemen), kedudukan HAM di Indonesia menjadi sangat penting. Hal ini tercermin dari meluasnya pengaturan terkait HAM dan pengelompokannya ke dalam satu bab tersendiri. Selain UUD NRI 1945, sebelumnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM  (UU HAM) telah memberikan landasan yang kuat mengenai penghormatan terhadap HAM di Indonesia.
Salah satu hal yang sangat penting dicatat adalah adanya kesadaran bahwa selama lebih 50 tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau pengakuan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan (Penjelasan Umum UU HAM). 
Dalam Pasal 1 angka 1 UU HAM, disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Walaupun disebutkan bahwa pengaturan HAM dalam UU HAM berpedoman pada Deklarasi HAM PBB, namun materinya disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Terkait dengan perkawinan, Pasal 28B UUD 1945 Amandemen (Perubahan kedua tahun 2000) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.Jaminan atas hak ini sebelumnya telah dipertegas oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya, yaitu Pasal 10 ayat (1) UU HAM.  Sementara, ayat (2) dari pasal ini mengatur tentang syarat sahnya suatu perkawinan, yaitu kehendak bebas calon suami atau istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.4.   Perspektif Hak Asasi Manusia tentang Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia.
Hal yang signifikan di dalam memahami persoalan perkawinan beda agama bukanlah soal perbedaan agama itu sendiri, tetapi soal tanggung jawab negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak warganya. Adapun yang dipersoalkan adalah soal relasi vertikal dalam hubungan antara negara dan warga negara (citizen), bukan soal relasi horisontal yang menyangkut hubungan di antara warga negara yang beragam agama, kepercayaan dan beragam penafsirannya.

Hal ini penting untuk diperhatikan karena persoalan perkawinan beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah persoalan hukum, sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan beda agama adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan. Oleh karena Indonesia bukan negara agama, maka yang menjadi acuan adalah hukum nasional. Meskipun hukum nasional, seperti Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mendasarkan diri pada apa yang dikatakan dengan hukum agama, namun cendrung lebih terikat pada dasar filosofi bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Artinya, prinsip mengakui keragaman bangsa dan kemajemukan masyarakat haruslah menjadi dasar dari pembentukan dan pembuatan suatu hukum maupun undang-undang yang bersifat nasional.
Dalam konteks nation state, tidak boleh ada satu produk hukum pun yang sektarian yang hanya menguntungkan kelompok agama tertentu dan mengabaikan suara komunitas agama lainnya. Setiap warga negara dijamin hak-haknya yang sama dan sederajat, apa pun latar belakang agama, keyakinan, dan kepercayaannya. Setiap pertimbangan dan alasan untuk membuat perundang-undangan haruslah memperhitungkan kesamaan dan kesederajatan warga negara dalam pemenuhan hak-hak mereka, tanpa membedakan antara satu kelompok warga negara dengan yang lainnya atas dasar perbedaan agama dan kepercayaan. Dalam perspektif HAM, setiap pembuatan undang-undang harus mempertimbangkan terlebih dahulu kewajiban negara untuk mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak mendasar warga negara.
Jika melihat persoalan perkawinan di Indonesia, maka hukum perkawinan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, dan untuk implementasinya dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanannya dan dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Berkaitan dengan perkawinan beda agama, maka pasal yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan ini adalah pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan ditegaskan lagi lewat Penjelasan pasal tersebut bahwa “ Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945”.
Jika dianalisa secara kritis, tampak bahwa persoalan hak asasi manusia muncul dalam kasus perkawinan beda agama berkaitan dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan sebagai peraturan pelaksana UU Perkawinan. Problem HAM yang muncul adalah:
Pertama, soal sahnya perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1) diatas terlihat bahwa sahnya perkawinan tergantung apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua mempelai memiliki agama yang sama. Kalau keduanya memiliki agama yang berbeda, maka boleh jadi, ada empat cara yang lazim ditempuh pasangan beda agama yang akan menikah yakni, pertama, meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No. 12 Tahun 1983. Kedua, perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakan menurut hukum agama seorang mempelai (biasanya suami), baru disusul pernikahan menurut hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahannya perkawinan mana yang dianggap sah? Apakah perkawinan menurut hukum yang kedua (terakhir)? Jika ya, apakah perkawinan pertama dianggap tidak sah? Ketiga, kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandangan menyatakan tunduk pada hukum pasangannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan ‘berpindah agama’ sebagai bentuk penundukan hukum. Disini terlihat adanya penyeludupan hukum dimana salah satu pihak secara pura-pura beralih agama. Keempat, yang sering dipakai belakangan, adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri. Beberapa artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya menyiasati susahnya kawin beda agama di Indonesia. Masalahnya, apakah kawin beda agama di luar negeri sah menurut hukum Indonesia? Jika ingin dipertajam lagi, mengapa warga negara Indonesia tidak mendapatkan perlindungan hukum di dalam negerinya sendiri, tetapi justru ingin mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain? Bukankah hal tersebut sungguh ironis?
Kedua, soal pencatatan perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Peran pemerintah hanya sebatas melakukan pencatatan nikah dan hal tersebut berarti pemerintah hanya mengatur aspek administratif perkawinan. Namun, dalam prakteknya, kedua ayat dalam pasal 2 tersebut berlaku secara kumulatif sehingga kedua-duanya harus diterapkan bagi persayaratan sahnya suatu perkawinan. Hal ini boleh jadi merupakan konsekwensi dari sistematika produk perundang-undangan dimana komponen-komponen yang menjadi bagiannya tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.

Akibatnya, meskipun suatu perkawinan sudah dipandang sah berdasarkan aturan agama tertentu, tetapi kalau belum dicatatkan pada kantor pemerintah yang berwenang (baik Kantor Urusan Agama/KUA untuk yang beragama Islam ataupun Kantor Catatan Sipil/KCS untuk yang diluar Islam), maka perkawinan tersebut belum diakui sah oleh negara. Dalam berbagai kasus, sahnya suatu perkawinan secara yuridis memang harus dibuktikan melalui buku nikah yang diperoleh dari KUA dan KCS. Hal ini tentu saja menimbulkan implikasi hukum dan sosial yang beragam bagi pasangan yang berbeda agama seperti misalnya anak-anak yang lahir tidak akan dianggap sebagai keturunan yang sah dan suami-istri pun mengalami kesulitan memperoleh hak-hak keperdataan yang timbul dari perkawinan tersebut. Padahal dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.
Problem lain yang muncul dari sahnya sebuah perkawinan harus dicatatkan adalah bahwa pencatatan tersebut hanya berlaku bagi agama-agama yang diakui oleh negara sebagaimana yang tertuang dalam UU No 1/PNPS/1965 dimana agama-agama yang diakui di Indonesia hanya ada lima yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu. Di luar itu hak sipilnya tidak diakui negara sehingga orang yang di luar enam agama tersebut jika menikah dan ingin diakui negara maka dia harus membohongi negara dan diri sendiri.
Definisi agama yang dibuat oleh pemerintah ternyata sangat diskriminatif. Defenisi agama versi pemerintah menyebutkan bahwa agama adalah sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, memuat ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci. Definisi ini berimplikasi negatif karena menimbulkan diskriminasi terhadap agama-agama bumi yang tidak memenuhi syarat sebagai agama sesuai definisi pemerintah. Selain itu, diskriminasi tersebut merembet pada diskriminasi terhadap hak sipil. Mereka terancam tidak memiliki KTP karena komputer pemerintah hanya bisa menuliskan satu dari 5 agama atau mereka harus memilih pencantuman sebagai salah satu pemeluk agama yang 5 untuk dapat dibuatkan KTPnya. Hal ini tentu berimplikasi pada masalah pencatatan perkawinan yang seringkali ditolak oleh Kantor Catatan Sipil karena bukan pemeluk salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Perkawinan yang tidak mendapatkan pengakuan negara akan mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan Kartu Keluarga (KK), akta kelahiran anak, KTP, surat nikah dan hak pendidikan. Ini artinya keluarga tersebut kehilangan hak sipilnya sebagai warga negara. Diskriminasi jelas merupakan tindakan yang melanggar HAM. Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan spek kehidupan lainnya”. Pertanyaannya, atas dasar apa negara seakan mempunyai otoritas untuk menentukan diakui atau tidaknya sebuah agama padahal agama telah lahir dan eksis terlebih dahulu dibandingkan dengan kelahiran sebuah negara?
Problem-problem di atas tentu tidak harus terjadi jika saja pemerintah lebih memahami bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang hidup yang bukan merupakan pemberian siapapun juga termasuk negara, sedangkan hak sipil adalah hak warga negara yang menimbulkan kewajiban bagi negara untuk melindungi, mengakui dan memproteksinya.
Hak beragama, berkeyakinan, dan berkeluarga termasuk dalam rumpun hak sipil.  Beragama dan beraliran kepercayaan adalah hak sipil dalam arti bahwa hak itu sudah ada, tumbuh dan berkembang dalam lembaga sosial dan keagamaan sebelum lahirnya organisasi negara. Dasar kebebasan agama dan beragama adalah kodrat atau martabat manusia itu sendiri. Kodrat atau martabat adalah kenyataan bahwa manusia sebagai pribadi dikaruniai akal budi dan kehendak. Akal budi dan kehendak bebas tersebut merupakan inti kodrat (martabat) manusia. Berkaitan dengan adanya kedua hal tersebut dalam diri manusia, maka dikatakan manusia mempunyai tanggung jawab pribadi dalam bidang apa saja, termasuk dalam tindakan percaya dan beragama itu sendiri. Tanggung jawab pribadi yang mengandaikan akal budi dan kehendak bebas itu bukanlah sesuatu yang diberikan oleh siapa-siapa dan oleh karena itu tidak dapat diambil oleh siapapun.
Berbicara tentang pilihan terhadap agama, berarti berbicara tentang sesuatu yang paling asasi pada diri manusia. Dikatakan demikian karena proses manusia dalam beragama merupakan pengejawantahan kesadaran ilahiyah yang terpatri dalam diri manusia. Kesadaran ini kemudian memperoleh afirmasi simbolik melalui agama formal yang disebarkan melalui utusan Tuhan yang jumlahnya tak terbilang. Dari kajian sejarah agama-agama diperoleh suatu gambaran, banyaknya utusan Tuhan berpengaruh juga terhadap banyaknya agama yang dipeluk oleh manusia. Maka kalau kemudian muncul kebijakan yang hanya mengakui keberadaan agama dengan jumlah yang amat terbatas, maka hal ini merupakan pengingkaran terhadap kemerdekaan eksistensial manusia untuk melakukan ziarah spiritual yang bisa jadi melintasi agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah.
Oleh karena itu, setiap orang mempunyai kewajiban dan hak untuk mencari kebenaran terutama dalam bidang agama, sesuai dengan tuntutan suara hatinya. Orang harus dapat menjalankan kewajiban dan menggunakan haknya dalam suasana bebas tanpa ketakutan dan tekanan dari pihak manapun dan dalam bentuk apa pun. Dalam suasana itulah, manusia dapat bertindak secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, kebebasan adalah hak asasi manusia dan termasuk dalam martabat manusia. Merusak kebebasan seseorang berarti menghina citra martabat orang itu sebagai manusia.
Adapun hak sipil itu umumnya berkaitan dengan prinsip kebebasan, yang terganggu karena hadirnya organisasi negara. Negara melalui pemerintah cenderung mengatur, membatasi dan terkadang melarang kebebasan sipil. Kebebasan sipil yang berkait dengan nilai-nilai agama dan diatur oleh kaidah agama, seringkali berimpit dengan hak penguasa dalam mengatur kehidupan kemasyarakatan. Hak untuk memilih pasangan hidup misalnya, haruslah merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh pemerintah. Namun kenyataannya, negara tidak membiarkan begitu saja kebebasan memilih pasangan yang bersamaan jenis atau berbeda agama.
Negara seharusnya tidak dibenarkan memaksa seseorang agar mengawini orang yang sama agamanya, karena perkawinan berbeda agama itu pun merupakan bagian dari kebebasan memilih calon suami atau istri. Lebih jauh lagi, perkawinan beda agama adalah merupakan implikasi dari realitas kemajemukan agama, etnis, suku, ras yang ada di Indonesia sehingga jika terjadi pelarangan perkawinan beda agama, maka hal tersebut sama saja dengan mengingkari realitas kemajemukan tadi. Kaidah dalam hak-hak asasi manusia sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak mungkin dapat ditegakkan pelaksanaannya tanpa adanya hukum positif yang mengatur hak tersebut. Walaupun kaidah hak asasi manusia membenarkan perkawinan antar agama, tetapi jika pemerintah menolak melakukan pencatatan, maka kaidah hak asasi manusia itu akan kehilangan makna. Oleh karena itu, meskipun pemerintah atau negara tidak melarang perkawinan campuran antar agama, namun pemerintah secara tidak langsung menolak hak asasi tersebut melalui lembaga pencatatan nikah. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesan bahwa pemerintah memaksakan seseorang untuk memilih agama, yang semata-mata hanya untuk kepentingan unifikasi hukum dan administrasi pemerintahan.
Oleh karena itu, bila di Indonesia terjadi penolakan perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif HAM, hal tersebut menurut penulis jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.
Alasannya adalah bahwa Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang merupakan instrumen hukum yang mengatur HAM secara khusus di Indonesia, dengan tegas menjelaskan pada pasal 22 ayat (1) bahwa “ Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Pasal 10 ayat (1) lebih menegaskan lagi bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Pelarangan kawin beda agama juga melanggar prinsip kebebasan dasar seseorang dalam beragama dan merupakan tindakan diskriminatif. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 secara jelas menyatakan bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sepek kehidupan lainnya”.
Oleh karena itu, tindakan diskriminasi terhadap kebebasan seseorang dalam beragama mesti dihentikan karena beragama merupakan salah satu hak asasi manusia dan merupakan kebebasan dasar manusia yang diatur dan dijamin perlindungannya dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Hal ini tampak pada pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) memiliki tanggungjawab menjamin prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi manusia, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama Pemerintah“. Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran, pembatasan, bahkan penolakan terhadap kebebasan beragama dan kebebasan untuk berkeluarga (menikah) di Indonesia, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM dan konstitusi itu sendiri.
Dari segi pencatatan perkawinan, setiap warga negara yang memeluk agama apa pun yang secara universal diakui oleh umat manusia, maka berhak mendapat pelayanan administrasi dari negara. Tidak bisa dibenarkan Kantor Catatan Sipil menolak pencatatan perkawinan hanya karena suatu agama tidak tercatat pada lembaran negara atau karena masing-masing pasangan yang ingin menikah berbeda agamanya. Asumsi dasar dari pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yang bersifat yuridis-formal. Di samping perkawinan adalah sebagai sebuah peristiwa hukum, perkawinan juga merupakan bagian dari proses sosial yang memerlukan adanya pengakuan secara sosial. Keharusan pencatatan dalam perkawinan bisa ditempatkan sebagai tindakan preventif dari kemungkinan lahirnya pelanggaran hukum berupa kekerasan dalam perkawinan baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis maupun penelantaran rumah tangga dengan payung yuridis yang kuat dan otentik yang dibuktikan dengan adanya akte perkawinan.
Pencatatan perkawinan juga merupakan bagian hak asasi warga negara yang perlu dilindungi karena berdasarkan pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.
2.5. Analisis
Sebagai sebuah negara yang berdasarkan hukum material/sosial, Indonesia menganut prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia. Jaminan perlindungan atas HAM ini diberikan tanpa melakukan diskriminasi (Pasal 3 ayat (3)). Menurut Pasal 1 angka 3 UU HAM, yang dimaksud dengan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia ada dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Sebagai hak yang paling mendasar, HAM mau tidak mau harus diwujudkan secara konkrit, tidak hanya sekedar meratifikasi konvensi-konvensi HAM internasional, melainkan juga menerapkan hak-hak tersebut ke dalam hukum nasional. Sebagai instrumen internasional yang diakui Indonesia sebagai negara anggota PBB, prinsip-prinsip HAM harus digabungkan ke dalam hukum positif, walaupun dengan catatan bahwa harus disesuaikan dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Namun, menggunakan alasan demi menjaga kebudayaan bangsa untuk mengurangi makna dari HAM merupakan sebuah pengingkaran atas HAM itu sendiri. Sebagai merupakan instrumen yang bersifat universal, HAM seharusnya tidak hanya diakui keberadaannya secara mutlak,namun juga harus dijunjung tinggi. Ini menunjukkan penghormatan setinggi-tinggi terhadap nilai-nilai dalam HAM.Di sini, pemerintah berkewajiban untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM agar menjadi norma-norma yang diterima menjadi landasan bagi warga negara dalam kehidupannya.HAM harus diarahkan untuk dapat membangun kehidupan masyarakat.Hak-hak asasi manusia bukan merupakan nilai-nilai dasar umum yang berakar dalam keadaan individu, melainkan dikondisikan ke dalam masyarakat. Perjuangan untuk menegakkan hak-hak asasi manusia tidak semata-mata terbatas pada penanaman kesadaran, melainkan juga upaya-upaya sadar untuk memperbaiki dan mengubah kondisi-kondisi yang merintangi realisasi hak-hak asasi manusia itu sendiri.
Sebagai sebuah instrumen, hukum memang tidak hanya digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan masyarakat, melainkan juga harus mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai lagi dan menciptakan pola-pola baru yang serasi dengan tingkah laku manusia dalam masyarakat tersebut. Pandangan ini dikembangkan oleh Roscoe Pound dengan teorinya “Law as a tool of social engineering”. Salah satu langkah yang digunakan dalam teori ini adalah dengan memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, terutama pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan yang majemuk.
Selain itu, pengakuan atas HAM sebagai nilai yang universal dan mendasar juga memberikan konsekuensi bagi Indonesia untuk menyelaraskan atau mengharmonisasikan HAM ke dalam peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku.Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin bahwa nilai-nilai HAM itu memang menjadi prinsip dasar setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam beberapa contoh, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan pembatalan Undang-Undang (UU) atau pasal yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, seperti UU Tindak Pidana Korupsi atau beberapa pasal dalam UU tentang pemilihan presiden yang terkait bekas anggota PKI.
Adanya penolakan terhadap perkawinan beda-agama di Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai prinsip-prinsip HAM itu sendiri.Tidak mengakui sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perbedaan agama dari masing-masing mempelai merupakan sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama.Masalah agama merupakan salah satu komponen HAM yang dijamin oleh UUD sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 dengan tegas menjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang. Kebebasan beragama ini pada dasarnya juga berarti bahwa negara tidak turut campur dalam masalah-masalah agama.Secara filosofis, pengaturan seperti ini tidaklah sesuai dengan cita-cita penegakan HAM di Indonesia.Pengaturan mengenai hak-hak dasar dalam bidang perkawinan tidak diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.  Pasal 10 ayat (2) UU HAM secara tegas menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak.Dalam hal ini, prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan yang sah adalah kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (2) UU HAM, yang dimaksud dengan “kehendak bebas” adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon istri. Dari sini, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perkawinan menurut UU HAM hanya dipandang dari aspek keperdataan saja.Di sini, tidak ada unsur agama yang dikedepankan dalam sebuah perkawinan.Sementara, perkawinan yang diatur oleh UU Perkawinan yang berlaku saat ini memiliki konsepsi yang berbeda bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-masing pihak dan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan tersebut.Artinya, antara pria dan wanita yang berbeda agama tidak boleh dilakukan perkawinan berdasarkan hukum positif Indonesia.Padahal, Pasal 3 ayat (3) UU HAM) menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia dijamin undang-undang tanpa diskriminasi.Dalam hal ini hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan tidak boleh dikurangi atau direduksi oleh faktor agama.Pembatasan inilah yang perlu disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat ini.Penolakan terhadap pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan beda-agama merupakan sebuah tindakan diskriminatif berdasarkan agama.
Di sisi lain, UU Perkawinan sama sekali tidak memberikan larangan mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang beda-agama. Bila memang perkawinan beda-agama tidak diperbolehkan, maka seharusnya hal tersebut harus ditegaskan dalam Undang-Undang.Hukum agama tetap saja merupakan kaedah agama yang tidak termasuk dalam hukum positif nasional.Oleh sebab itu, kaedah-kaedah agama tidak dapat diberlakukan secara tidak langsung dalam Undang-Undang karena menyangkut masyarakat secara umum.
Selain tidak adanya larangan terhadap perkawinan beda-agama, UU Perkawinan (Pasal 57) juga mengakui adanya perkawinan campuran, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing, serta perkawinan yang dilakukan di luar negeri (Pasal 56)  antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing. Dalam kasus tertentu, bisa saja perkawinan campuran atau perkawinan yang dilakukan di luar negeri juga merupakan perkawinan beda-agama. Pengakuan terhadap perkawinan seperti ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Bila warga negara sendiri tidak diperbolehkan untuk melakukan perkawinan beda-agama, tentu muncul pertanyaan mengapa perkawinan campuran atau perkawinan di luar negeri diakui oleh negara. 
Sayangnya, UU HAM sendiri tidak memberikan kepastian mengenai prinsip dasar perkawinan tersebut.Penjelasan Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “perkawinan yang sah” adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Artinya, bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan ketentuan dalam UU Perkawinan, yaitu sah dari aspek agama dan sah dari aspek administrasi. 
Sebagai sebuah ikatan bathin yang suci, perkawinan tidaklah dapat dibatasi atas dasar perbedaan agama.Bila tidak, negara dapat dikatakan turut campur mengatur masalah-masalah pribadi seseorang. Saat ini, telah berkembang pendapat di dalam masyarakat agar negara tidak lagi mengintervensi kehidupan beragama di Indonesia. Dalam hal ini, negara hanya mencatatkan setiap perkawinan yang didaftarkan.   
Dari pernyataan-pernyataan di atas, terlihat ada perbedaan antara konsepsi mengenai perkawinan berdasarkan UU HAM dan pengaturan mengenai perkawinan berdasarkan UU Perkawinan.Di satu sisi, UU HAM hanya mensyaratkan faktor kehendak bebas calon suami/istri, sementara di sisi lain, UU Perkawinan menetapkan persyaratan yang tidak hanya sekedar kehendak bebas calon suami/istri.
Perkawinan yang dilakukan oleh para pihak yang memiliki keyakinan berbeda sudah seharusnya diakui oleh negara sebagai salah satu hak dari setiap warga negara.UU Perkawinan sendiri sudah menyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan bathin.Oleh sebab itu, negera tidak boleh ikut campur dalam hal bathin warga negaranya karena merupakan lingkup hak asasi warga negaranya.
Kekuatan berlakunya hukum tidak semata-mata dilihat dari segi yuridis, melainkan juga dari segi sosiologis dan filosofis. Secara sosiologis, tidak adanya pengakuan negara atas perkawinan antar-agama menyebabkan banyak warga negara yang melakukan perkawinan di negara-negara yang melegalkan perkawinan seperti itu. Cara ini dapat dilegalkan dengan memanfaatkan keberadaan Pasal 56 UU Perkawinan. Sebagai syaratnya, perkawinan tersebut harus dicatatkan dalam waktu 1 tahun setelah mereka kembali ke wilayah Indonesia dengan membawa surat bukti perkawinan untuk didaftarkan di Kantor Pencatatan setempat. Walaupun demikian, dalam prakteknya tetap saja muncul hambatan dalam melakukan pendaftaran perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan adanya penafsiran bahwa UU Perkawinan melarang terjadinya perkawinan beda-agama. Penafsiran ini pada prinsipnya kurang tepat karena banyak perkawinan beda-agama yang diterima dalam masyarakat, dalam kasus ini, terutama untuk pasangan yang terdiri atas calon suami yang beragama Islam dan calon istri yang beragama Kristen. Dari sudut pandang HAM, penerimaan perkawinan yang berdasarkan atas agama tertentu pada prinsipnya sudah melanggar asas-asas HAM. Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin akan memberikan dampak sosial baru.
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan pada hukum. Penafsiran negara berdasarkan hukum tidak boleh sempit. Hukum harus responsif terhadap cita-cita dari sebuah negara hukum. Salah satu yang menjadi tujuan fundamental dari pembangunan hukum adalah menjamin terwujudnya sebuah negara hukum. Di sini, negara harus benar-benar secara serius menjamin hak-hak  dasar warga negara. Demikian juga dengan hak untuk melangsungkan perkawinan walaupun kedua mempelai merupakan pasangan yang berbeda agama. Negara harus mengakui perkawinan ini, antara lain sebagai bentuk harmonisasi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU HAM terhadap peraturan perundang-undangan lainnya.

Secara yuridis, UU Perkawinan tidak melarang adanya perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda-agama. Bahkan, UU Perkawinan secara tidak langsung memberikan ruang bagi terjadinya  perkawinan beda-agama, yaitu dengan memanfaatkan Pasal 56 UU Perkawinan. Secara sosiologis, perkawinan beda-agama masih diterima oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Secara filosofis, hak-hak yang terkait dengan agama merupakan hak yang sangat mendasar dan tidak dapat dikurangi, diskriminasi terhadap perkawinan beda-agama merupakan pelanggaran terhadap asas-asas dasar dari hak asasi manusia itu sendiri.
2.6. Masa Depan Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
“A constitution is not the act of a government but of a people constituting a government, without a constitution is power without right, and a constitution is the property of the nation and not of those who exercise the goverment”, demikian penegasan Thomas Paine, seorang tokoh radikal abad ke-18 yang karya-karyanya banyak mengilhami munculnya revolusi Prancis dan Amerika. Pandangan ini menunjukkan bahwa kedudukan konstitusi merupakan elemen esensial dalam sebuah negara. Tidak saja karena konstitusi memberikan kejelasan tentang mekanisme ketatanegaraan, tetapi juga memberikan penegasan atas kedudukan dan relasi yang amat kuat antara penguasa dan rakyat.
Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti penting tersendiri bagi terciptanya sebuah paradigma negara hukum sebagai buah dari proses dialektika demokrasi yang telah berjalan secara amat panjang dalam lintasan sejarah peradaban manusia. Jaminan atas HAM meneguhkan pendirian bahwa negara bertanggung jawab atas tegaknya supremasi hukum. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM penting artinya bagi arah pelaksanaan ketatanegaraan sebuah negara, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sri Soemantri sebagai berikut:
Adanya jaminan terhadap hak-hak dasar setiap warga negara mengandung arti bahwa setiap penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang kepada warga negaranya. Bahkan adanya hak-hak dasar itu juga mempunyai arti adanya keseimbangan dalam negara, yaitu keseimbangan antara kekuasaan dalam negara dan hak-hak dasar warga negara.
Dari pernyataan diatas terlihat bahwa konstitusi merupakan napas kehidupan ketatanegaraan sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi bangsa Indonesia. Konstitusi sebagai perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kemauan rakyat memberikan jaminan atas keberlangsungan hidup berikut HAM secara nyata. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM adalah bukti dari hakikat, kedudukan dan fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, dalam perspektif HAM, membentuk keluarga melalui pernikahan merupakan hak prerogatif pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinannya. Namun sayangnya sebagaimana analisa penulis di atas, realitas ini tidak cukup disadari oleh negara, bahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama. Akibatnya, banyak warga negara yang kebetulan “mampu” secara ekonomi menyiasati pembatasan undang-undang tersebut dengan mencatatkan perkawinannya di luar negeri untuk akhirnya dilaporkan ke Kantor Catatan Sipil di Indonesia. Sungguh ironis, bahwa warga negara Indonesia tidak mendapatkan perlindungan hukum di dalam negerinya sendiri, tetapi justru mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain. Untuk yang tidak mungkin ke luar negeri, ada yang terpaksa “mengalah” dengan jalan pindah agama sejenak agar peristiwa pernikahannya dicatat oleh Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama.
Pertanyaannya kemudian, solusi apa yang bisa ditawarkan sehingga hak seseorang untuk melakukan pernikahan beda agama di Indonesia tetap terjamin dan tidak akan tejadi lagi tindakan yang diskriminatif seperti di atas? Salah satu yang perlu dilakukan adalah merevisi Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan khususnya pasal 2 ayat 1. Pembaruan tersebut menurut penulis secara teoritis dilatari dengan alasan, pertama, bahwa perkawinan, membentuk keluarga dan mendapatkan keturunan adalah merupakan hak seseorang yang termasuk dalam hak asasi manusia; kedua, sebagai sebuah negara, Indonesia dibangun bukan oleh satu komunitas agama saja, melainkan di dasarkan pada asas nasionalitas; ketiga, dalam konteks negara demokrasi, maka beberapa prasyarat yang dibutuhkan antara lain jaminan membangun civil society yang bebas, otonomi dan kualitas political society, adanya rule of law sebagai jaminan hukum bagi kebebasan warga negara dan kehidupan organisasi yang independent, birokrasi yang mendukung pemerintahan baru yang demokratis, dan masyarakat ekonomi yang institutionalized; keempat, Indonesia merupakan negara yang sangat plural. Pluralitas tersebut bukan hanya dari sudut etnis, ras, budaya, dan bahasa melainkan juga agama sehingga setiap kebijakan yang dilakukan oleh negara haruslah mengakomodir semua warga negaranya tanpa membedakan latar belakangnya. Tujuan dari pengakomodiran kebijaksanaan tersebut tidak lain agar semua warga negara mendapat sebuah kepastian hukum; kelima, negara mempunyai kewajiban untuk melayani hajat keberagamaan warganya secara adil tanpa diskriminasi. Implikasi dari kewajiban negara tersebut harus diartikan secara luas terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum. Atas dasar itu, negara harus memenuhi hak-hak sipil warga negaranya tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut; dan keenam, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan instrumen hukum yang ada di Indonesia menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada akhirnya membentuk sebuah keluarga.
Adapun secara praktis, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah berusia lebih dari 36 tahun, sebuah usia yang menuntut peninjauan ulang atasnya karena undang-undang merupakan satu “sistem yang terbuka” yang tidak hanya melihat kebelakang kepada perundang-undangan yang ada, tetapi juga memandang kedepan dengan memikirkan konsekuensi-konsekuensi suatu keputusan hukum bagi masyarakat yang diaturnya

BAB III
PENUTUP
3.1.      Kesimpulan

Berdasarkan uraian atau penjelasan dari makalah ini  maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1.      Perkawinan merupakan hak asasi yang paling mendasar yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, termasuk oleh negara.
2.      Negara berkewajiban untuk menjamin  pelaksaaan hak ini dengan cara mengadopsi HAM yang sudah diakui ke dalam hukum nasional secara menyeluruh karena HAM merupakah hak paling dasar yang menjadi landasan bagi semua produk hukum yang berkenaan dengan warga negara.
3.      Penolakan terhadap perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang
4.      Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, maka hal tersebut juga merupakan bagian dari hak warga negara yang mesti dilindungi dan dipenuhi haknya
5.      Asumsi dasar dari pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yang bersifat yuridis-formal.
6.      Pengakuan terhadap perkawinan beda-agama juga dapat meminimalisir ekses-ekses negatif yang mungkin timbul dalam masyarakatsekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat menjiwai hak-hak asasi manusia yang sudah seharusnya melekat dalam setiap manusia.
3.2.      Saran

Melalui makalah, penulis akan memberikan beberapa saran yang berhubungan dengan masalah perkawinan beda agama dalam perspektif Hak Asasi Manusia antara lain sebagai berikut :
1.      Negara perlu segera melakukan harmonisasi dari seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak dasar sebagai wujud konkrit dari pengakuan atas HAM dan untuk menjaga kepastian hukum sehingga tidak ada lagi warga negara yang melakukan perkawinan dengan memanfaatkan celah-celah dalam peraturan perundang-undangan.
2.      Materi-materi di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI perlu diperbaharui untuk tujuan penyempurnaan, sehingga mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang muncul di masyarakat, baik dalam aturan formil maupun materil.
3.      Negara seharusnya tidak dibenarkan memaksa seseorang agar mengawini orang yang sama agamanya, karena perkawinan berbeda agama itu pun merupakan bagian dari kebebasan memilih calon suami atau istri. 
DAFTAR PUSTAKA

Hazairin. Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan No 1/1974. Jakarta: Tintamas, 1986

Kitab undang-undang Hukum Perdata
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.
1/1974
Peraturan Tentang Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijke Regeling)

Sudarsono, SH. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 1991

Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Pluralisme Dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, 1986

Soimin, Soedharyo, SH. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika,
2002


















No comments:

Post a Comment