Tuesday, January 31, 2012

Birokrasi Dalam Administrasi Publik Di Indonesia (Hilangnya Peranan Birokrasi Yang Sesungguhnya)

Jika berbicara tentang pelayanan publik, maka kita akan dihadapkan pada posisi dan peran birokrasi. Birokrasi yang tentu memiliki peran dan wewenang yang signifikan dalam pemerintahan, karena sebagai salah satu pengelola keuangan negara. Birokrasi pemerintah tentu berbeda dengan birokrasi swasta, dimana birokrasi swasta lebih berorientasi pada benefit profit (perolehan keuntungan) sedangkan birokrasi pemerintahan memiliki fungsi pemberian pelayanan kepada masyarakat. Apalagi di era otonomi daerah seperti ini yang mengharuskan masing-masing daerah untuk mengelola segala urusannya sendiri dan tidak tergantung kepada pemerintah pusat. UU No. 32 tahun 2004 mengisyaratkan hal tersebut sehingga segala urusan di daerah dapat dikelola dengan baik tak terkecuali masalah pelayanan publik. Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan harus jeli terhadap kualitas pelayanan publik yang dilakukannya terhadap masyarakat di daerahnya. Pelayanan publik sampai saat ini masih banyak kekurangan, terutama pada posisi dan peran birokrasi yang belum profesional dan independen, karena netralitas birokrasi kurang terjaga.

Peran birokrasi sebagai pelayan publik belum dipahami secara benar, akibatnya politisasi birokrasi sangat banyak pada era reformasi saat ini. Birokrasi masih belum efisien, yang antara lain ditandai dengan adanya tumpang tindih kegiatan antar instansi dan masih banyak fungsi-fungsi yang sudah seharusnya dapat diserahkan kepada masyarakat masih ditangani pemerintah. Dengan makin besarnya peran yang dijalankan oleh masyarakat, maka seharusnya peran birokrasi lebih cenderung sebagai agen pembaharuan, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, fungsi pengaturan dan pengendalian yang dilakukan oleh negara adalah perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang berfungsi sebagai motivator dan fasilitator guna tercapainya swakarsa dan swadaya masyarakat termasuk dunia usaha.
Peran lain yang seharusnya dijalankan oleh birokrasi adalah sebagai consensus building, yaitu membangun pemufakatan antara negara, sektor swasta dan masyarakat. Peran ini harus dijalankan oleh birokrasi mengingat fungsinya sebagai agen pembaharuan dan fasilitator. Sebagai agen perubahan, birokrasi harus mengambil inisiatif dan memelopori suatu kebijakan atau tindakan. Sedangkan sebagai fasilitator, birokrasi harus dapat memfasilitasi kepentingan-kepentingan yang muncul dari masyarakat, sektor swasta maupun kepentingan negara. Selain itu, pemisahan peran yang melekat pada aparatur pemerintah menjadi suatu keharusan. Aparatur pemerintah adalah pelayan publik yang harus melayani masyarakat apapun latar belakangnya. Perbedaan ideologi maupun pilihan politik tidak boleh menghalangi perannya sebagai pelayan masyarakat.
Oleh karena itu, wajah birokrasi pemerintah di Indonesia dari dulu hingga kini boleh dikatakan belum menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Birokrasi tetap diliputi berbagai praktik penyimpangan dan ketidakefisienan. Birokrasi kita sekarang ini dalam banyak hal masih menunjukkan ”watak buruknya” seperti enggan terhadap perubahan (status quo), eksklusif, rigit dan terlalu dominan, sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi, yang secara umum kemudian dipersepsikan memiliki konsekuensi inefektifitas dan inefisiensi.  Indikator lain yang merefleksikan potret buruk birokrasi adalah tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati atau service style yang tidak berperspektif pelanggan. Turut menyempurnakan buruknya kinerja birokrasi adalah rendahnya penguasaan kompetensi birokrat yang disinyalir disebabkan oleh renggangnya kualitas filter rekrutmen dan rendahnya kualitas pembinaan kepegawaian serta dominannya kepentingan politis dalam kinerja birokrasi.
Dalam bidang pelayanan publik, upaya-upaya telah dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan publik, dengan harapan  pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan dapat terwujud. Namun  upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanan  yang kurang efektif, berbelit-belit, lamban, tidak merespon kepentingan pelanggan, dan lain-lain adalah sederetan atribut negatif yang ditimpakan kepada birokrasi. Indikasi tersebut merupakan cerminan bahwa  kondisi birokrasi dewasa ini dalam  memberikan pelayanan kepada masyarakat masih belum  sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.
Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari keengganan masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan untuk sejauh mungkin menghindari birokrasi pemerintah. Fenomena “high cost”, kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, inefisiensi dan birokratis, merupakan kondisi pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat selama ini. Fenomena pelayanan publik tersebut disebabkan antara lain oleh masih banyaknya fungsi dan peran  kelembagaan yang tumpang tindih, pemerintahan yang dirasakan masih sentralistik, kurangnya infrastruktur e-Government, masih menguatnya budaya dilayani bukan melayani, transparansi biaya dan  prosedur pelayanan  yang belum jelas; serta sistem insentif, penghargaan dan sanksi  belum memadai.Banyak sudah contoh yang ditemukan di kehidupan masyarakat itu sendiri tentang fakta bahwa birokrasi masih belum bisa menjadi “pelayan public” yang ideal. Misalnya saja dalam hal pembuatan KTP (kartu tanda penduduk) yang di beberapa daerah di indoenesia masih saja sulit untuk mendapatkan pelayanan seputar pembuatannya mulai dari “pungutan liar”, waktu yang lama untuk bisa mendapatkan KTP serta cara yang berbelit-belit yaitu harus banyak pintu yang harus dilewati, selain KTP juga ada lagi yaitu seperti mendapatkan surat keterangan tidak mampu untuk warga miskin serta banyak lagi. Ada kesan di pihak birokrasi kalau mereka itu bukanlah yang harusnya melayani kepentingan rakyat akan tetapi mereka adalah seorang pejabat tinggi Negara yang seharusnya rakyat itu tidak punya hak apa-apa atas mereka. Sekilas memotret kembali pelayanan publik yang terjadi di indonesia masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat pada khususnya. Sebagai salah satu contoh yaang terjadi di provinsi jawa timur yang diberitakan media surabaya kompas edisi kamis 15 oktober 2010 dikemukan Gubernur jatim soekarwo diantara seluruh instansi pelayanan publik di jawa timur, Badan pertanahan nasional (BPN) salah satu instansi yang dinilai sebagai instansi pelayanan publik terburuk. Di sana, masyarakat yang mengurus administrasi pertanahan harus melalui birokrasi yang panjang (berbelit-belit). Melihat kasus yang terjadi pada provinsi jawa timur dimana buruknya pelayanan publik sehinggah berdampak pada masyarakat dalam mengakses informasi pada instansi perkantoran yang ada, sehinggah perlu ditindak tegas agar hal-hal tersebut tidak berlarut-larut dan tidak terjadi lagi dalam konteks pelayanan publik terhadap masyarakat yang merupakan kebutuhan dasar. Melihat beberapa kasus secara realitas dalam pelayanan publik yang lamban dan buruk sehinggah menimbulkan kejenuhan terhadap masyarakat.
Banyak juga fenomena yang bisa ditemukan di kehidupan sehari-hari seputar penyelewangan jabatan para birokrat misalnya saja kendaraan dinas yang berplat merah yaitu seharusnya kendaran itu hanya bisa digunakan pada saat keperluan kantor dan bukan pribadi seperti belanja di mall atau digunakan untuk tamasya keluarga bahkan mudik sekalipun. Padahal itu bukan hak mereka untuk menggunakan kendaraan dinas atas nama kepentingan pribadi. Selain itu juga, birokrasi di Indonesia ini sepertinya memang memiliki budaya yang sulit diberantas seperti misalnya, banyak pegawai yang jika hari kerja tetapi diselingi oleh libur panjang maka ia malas untuk masuk kerja atau bahkan jika atasannya tidak masuk kerja, mereka jadi malas-malasan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Karena mindset mereka adalah mereka tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa kepada rakyat akan tetapi tanggung jawab terhadap atasan yang sangat besar karena mereka diangkat oleh atasan. Padahal benar-benar pemikiran seperti itu salah.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). 

1 comment: