Tuesday, March 22, 2011

Penerbitan Buku Reformasi Pelayanan Publik

BIROKRASI yang buruk menjadi salah satu masalah terakut di Indonesia. Rendahnya kinerja pelayanan publik dan minimnya kualitas sumberdaya aparatur seperti tidak pernah ada akhirnya. Mulai dari KKN sampai dengan sistem birokrasi yang buruk menjadi hambatan (red tape barries) dalam mewujudkan birokrasi yang pro terhadap kepentingan rakyat banyak.

Berakhirnya masa Orde Baru di Indonesia sempat memberikan angin segar terhadap pembentukan birokrasi yang bersih. Salah satu indikatornya, birokrasi tidak lagi menjadi bagian dari politik paktis. Telah menjadi pelajaran bahwa pergumulan kekuatan politik dan birokrasi tidak hanya merusak kinerja birokrasi, namun menghancurkan proses politik itu sendiri.

Menurut Soebhan (2000), ada beberapa aspek negatif yang bisa dikaji ulang sebagai bagian dari dampak keberpihakan birokrasi terhadap politik di Indonesia. Pertama, terjadi keterpasungan pegawai birokrasi dalam kehidupan politik, khususnya akibat yang menimpanya jika memilih partai selain Golongan Karya (Golkar). Secara langsung, budaya ini akan membentuk semacam mindset ketidaksadaran bahwa birokrasi lebih diarahkan pada “pelayanan” politik daripada pengabdian pada rakyat. Kedua, condongnya birokrasi terhadap politik mengakibatkan ancaman-ancaman struktural dibanding fungsional. Oleh karena itu, profesionalisme kerja menjadi terbengkalai. Karena birokrat lebih sibuk memikirkan kenaikan pangkat, misalnya, daripada serius membenahi sistem pelayanan untuk masyarakat.



Pada masa lalu mudah dijumpai pergumulan politik dan birokrasi lebih banyak menghasilkan aspek negatif. Akibat sudah didominasi sedemikian rupa ketimpangan pembangunan menjadi hal yang lumrah terjadi. Misalnya jika Golkar tidak menang pemilu di satu daerah, pembuatan jembatan, pengaspalan jalan, penyediaan listrik dan telepon akan disendat-sendatkan realisasinya. Demikian juga dengan pelayanan adminsitratif, seperti pembuatan SIM, KTP, akte nikah serta surat kelahiran. Lalu lahir berbagai patologi birokrasi yang merugikan masyarakat. Korupsi sedemikian merajalela dan hampir menjadi budaya sehari-hari, amat lumrah dan wajar. Mengutip Charles E. Lindblom, Soebhan (2000) mengingatkan bahwa keasyikan birokrasi bermain dalam politik, pada suatu titik tertentu akan menghasilkan birokrasi yang korup, tidak efisien dan amoral.

Namun melihat kenyataan yang sekarang terjadi, angin segar reformasi ternyata belum banyak membuat situasi berubah, dan seolah-olah masih menjadi badai yang seolah-olah tidak mau berlalu. Pelayanan publik yang menyentuh langsung hajat kehidupan rakyat seperti kesehatan dan pendidikan, atau yang lebih bersifat hukum-adminstratif seringkali bersifat pilih kasih. Dapat dilihat contoh bagaimana orang-orang miskin, yang dalam konstitusi seharusnya dipelihara oleh negara, masih sulit merasakan nikmatnya pelayanan maksimal dari rumah sakit umum atau sekolah negeri, misalnya. Masih terdapat diskriminasi di sini. Alih-alih gratis, jika ingin menggunakan fasilitas-fasilitas umum tersebut, mereka harus menjangkau harga yang sangat melangit. Ataupun kalau murah, seringkali pelayanan yang diberikan jauh dari apa yang diharapkan.

Reformasi birokrasi dalam pelayanan publik menjadi hajat yang amat mendesak untuk dilaksanakan. Namun ini bukan perkara mudah. Selain sekedar berupaya melakukan perbaikan sistem secara rapi dan terencana, perubahan paradigma berpikir birokasi merupakan hal yang mendasar. Masyarakat sipil (civil society) ebagai bagian dari tiga pilar penyokong negara, selain pemerintah (state) dan sektor bisnis (privat sector) harus pula dilibatkan secara aktif. Masyarakat sipil harus berperan aktif dan hadir sebagai kelompok yang punya daya tekan kuat sebagai agen perubahan.

Data Buku
Judul : Reformasi Pelayanan Publik
Penulis : Ahmad Ainur Rohman, M. Mas’ud Sa’id, Saiful Arif, Purnomo
Penyunting : Saiful Arif
Cetakan I, Juni 2008

No comments:

Post a Comment