BIROKRASI yang buruk menjadi salah satu masalah terakut di Indonesia. Rendahnya kinerja pelayanan publik dan minimnya kualitas sumberdaya aparatur seperti tidak pernah ada akhirnya. Mulai dari KKN sampai dengan sistem birokrasi yang buruk menjadi hambatan (red tape barries) dalam mewujudkan birokrasi yang pro terhadap kepentingan rakyat banyak.
Berakhirnya masa Orde Baru di Indonesia sempat memberikan angin segar terhadap pembentukan birokrasi yang bersih. Salah satu indikatornya, birokrasi tidak lagi menjadi bagian dari politik paktis. Telah menjadi pelajaran bahwa pergumulan kekuatan politik dan birokrasi tidak hanya merusak kinerja birokrasi, namun menghancurkan proses politik itu sendiri.
Menurut Soebhan (2000), ada beberapa aspek negatif yang bisa dikaji ulang sebagai bagian dari dampak keberpihakan birokrasi terhadap politik di Indonesia. Pertama, terjadi keterpasungan pegawai birokrasi dalam kehidupan politik, khususnya akibat yang menimpanya jika memilih partai selain Golongan Karya (Golkar). Secara langsung, budaya ini akan membentuk semacam mindset ketidaksadaran bahwa birokrasi lebih diarahkan pada “pelayanan” politik daripada pengabdian pada rakyat. Kedua, condongnya birokrasi terhadap politik mengakibatkan ancaman-ancaman struktural dibanding fungsional. Oleh karena itu, profesionalisme kerja menjadi terbengkalai. Karena birokrat lebih sibuk memikirkan kenaikan pangkat, misalnya, daripada serius membenahi sistem pelayanan untuk masyarakat.